Nutt... Nuttt... Nuttt...
Nada menangkupkan gagang telepon rumahnya. Ia berkacak pinggang di samping benda berkabel ikal panjang tersebut.
Yang kesembilan kalinya dia nelpon, batin Nada.
Ya, deringan telepon yang barusan diputus itu adalah telepon yang kesembilan kali dalam minggu ini diterimanya dari ajudan dingin bernama Pandu. Kalau nggak lewat ponsel, ya lewat telepon rumahnya. Isinya, nggak bakal jauh beda dari telepon-telepon yang sebelumnya. Entah setan apa yang merasukinya sehingga pria itu tetiba suka mengkhawatirkan Nada.
Mungkin dia udah kemasukan setan papua, pikir Nada.
Ia menghela nafas. Sedari tadi Zara melayangkan tatapan bingung padanya. Ya, dia memang sedang berdua saja dengan sahabatnya Zara, sebab Bi Siti sedang pergi ke apotik untuk membeli obat sakit kepalanya.
"Siapa, Nad?" tanyanya. Zara mengalihkan pandangannya dari lembaran kertas berisi latihan soal ujian tersebut. Kedua alinya bertaut bingung.
"Biasa," ucapku singkat.
"Si Om ajudan itu?" tanya Zara. Nada mengangguk dan mendesah.
"Huh, biasalah, Za. Siapa lagi kalau bukan dia. Padahal, papaku saja nggak pernah sekhawatir ini sama anaknya. Eh dia yang–"
Deringan ponsel memutus ucapanku. Aku berdecak kesal. Kuhampiri ponsel yang kuletakkan di atas meja rias.
"Halo, Om?"
"Halo, Nad?"
"Ada apa sih Om?"
"Hmm, nggak ada apa-apa, sih. Cuma mau nelpon aja. Kenapa? Salah ya?"
Nada menghentak-hentakkan kakinya kesal.
"Iya lah salah, Oom... Iiih pengen kujitak-jitak kamu iiiih! Aku lagi belajar Om... Bentar lagi aku ujian nih..." gerutunya kesal. Zara hanya bisa menyembunyikan tawanya di balik bantal berbentuk hello kitty yang besar miliknya.
"Oh, lagi belajar, ya?"
"Iya, lagian Om tuh ya, nggak ada habis-habisnya nelpon aku. Buang-buang pulsa tau nggak. Daripada Om telponin aku, mending Om pake pulsanya buat telpon keluarga Om," ujarnya menceramahi pria tampan di seberang sana. Wajah Nada sudah merah semerah tomat, tensinya meninggi namun yang diceramahi malah senyum-senyum sendiri. Ya, pria itu sedang tersenyum geli mendengar gadisnya menggerutu kesal. Ia merasa puas. Kapan lagi ia bisa mengerjai kekasihnya?
"Sudah puas marah-marahnya?" tanya Pandu setengah menggoda.
"Kenapa sih Om nggak telpon aja pacarmu, atau ibumu, atau ayahmu kek." gerutunya.
Ya karena pacarku itu kamu, Nada Khayra Hendrawan, pikir Pandu.
"Emang aku tuh siapamu sampai-sampai Om khawatirin aku banget?"
Hati Pandu nyeri seketika. Andai saja yang sedang ia telepon saat ini adalah Nada yang dulu, Nada kekasihnya yang ceria ketika menerima telpon darinya. Tapi ia buru-buru menepis pikirannya. Ia sadar bahwa Nada yang saat ini ada di teleponnya adalah Nada yang masih berada dalam proses penyembuhan. Nada yang berbeda, yang sama sekali tak mengenalnya.
Kamu itu pacarku, Nada!
"Hmm, ya udah deh. Kalau kamu merasa terganggu. Aku tutup dulu ya,"
Entah mengapa hati Nada seperti tersulut sekarang. Ia kini merasa seperti orang kehilangan.
"Tap–"
Nutt... Nuttt... Nuttt...
Telepon diputus sepihak. Nada merutuki dirinya sendiri. Entah mengapa sekarang ia malah merasa bersalah sudah memarahi ajudan dingin yang tadi meneleponnya.
Duh, dia marah nggak ya sama aku? pikir Nada.
Nada menghampiri Zara yang kembali fokus pada buku Matematikanya. Zara terkejut melihat raut wajah Nada yang berubah drastis.
"Kenapa, Nad? Udah selesai telponannya?" tanya Zara.
Nada menghela nafas. Lalu mengangguk pelan.
"Terus, kamu kenapa? Kok mukanya sedih gitu?" tanya Zara heran.
"Umm... Aku nggak tau, Za... Aku cuma, ngerasa bersalah aja sama dia," tuturnya.
"Owalah, jadi sahabatku ini udah mulai kepincut ya sama Om tentara yang ganteng itu?" goda Zara usil.
"Ih, apaan sih, Zara!" cibirnya dan hanya bisa dibalas gelak tawa oleh Zara.
"Siapa tahu, Nad. Lagian, kenapa kok kamu ngerasa bersalah, Nad? Bukannya kamu ngerasa keki ya gara-gara sifatnya yang terlalu over?" tanya Zara.
"Aku nggak tau, Za. Kayaknya aku gak pantes aja marah-marah sama dia tadi. Kan kamu tau sendiri, kondisi di Merauke itu kadang susah signal, tapi bodohnya si Om Pandu, dia malah manfaatin signal yang jarang-jarang bagus buat telpon aku. Padahal kan, seharusnya dia telpon siapa kek, orang tuanya kek, pacarnya kek, adiknya kek, sahabatnya kek, eh ini malah nelepon aku yang notabenenya cuma anak asuh dia yang dititipin sama papaku," ujar Nada panjang lebar. Zara kesemsem sendiri mendengar celotehan sahabatnya.
"Ya itu artinya, kamu berharga banget buat dia, Nad," ucap Zara.
"Hah? Berharga apanya? Emang aku udah ngelakuin apa sampai-sampai dia nganggep aku berharga buat dia?"
"Hehehe, mana aku tau, Nad. Tapi ya, positive thinking aja. Siapa tau dia udah ngabari keluarganya sebelum dia ngabari kamu."
Nada mangut-mangut setuju dengan ucapan sahabatnya.
"Hmm, berharga ya, berarti secara nggak langsung, dia nganggep aku penting buat dia?"
Zara mengangguk.
"Hmm... Tapi, penting sebagai apa? Kalau sebagai anak Jenderalnya yang diamanahin buat dijaga, ya..." ujar Nada sedih. Entahlah, dia pun heran mengapa suasana hatinya mendadak sedih mengingat hal itu.
"Hmm, mungkin dia naksir sama kamu, Nad," ucap Zara menginterupsi.
Nada membulatkan matanya kaget.
"Hah?! Nggak, nggak mungkin, Za," ucapnya mengelak.
"Lho, nggak mungkin kenapa, Nad? Kalau dia beneran naksir, piye toh? Terus emangnya, dia nggak punya pacar, Nad?"
Nada berpikir sejenak. Ia teringat akan ucapan Pandu yang menerangkan bahwa ia tak punya pacar, alias jomblo.
"Nggak. Dia jomblo." jawab Nada. Kini, giliran Zara yang membulatkan matanya kaget.
"Haah?"
"Hei, Za, kamu kenapa kok melotot gitu?" tanya Nada bingung.
"Ya aku kaget aja, kok bisa-bisanya dia nggak punya pacar," jawabnya sambil memainkan pensil yang sedari tadi dipegangnya.
"Ya, cewek mana yang bakal tahan sama cowok dingin dan cuek kayak dia, Za? Aku juga gak mau kalau gitu," ujar Nada seraya memungut beberapa kue kacang kenari dari toplesnya.
"Hmm... Mau apa malu...?" goda Zara usil. Pipi Nada merona merah seperti udang rebus.
"Hus, apaan sih kamu, Za!" gerutunya. Zara tertawa puas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Disappeared Memory (Completed)
RomansaKetika sebuah memori harus memisahkan ikatan antara seorang tentara gagah dengan kekasihnya. Namun, tanpa kesengajaan, waktu kembali mempertemukan mereka setelah bertahun-tahun terpisah jarak kenangan. Cerita fiktif dari coretan-coretan absurd autho...