Hari Kamis. Aku kembali mengikuti pelajaran seperti biasanya. Mataku memandang serius ke arah Pak Tedjo, guru Kimia di kelasku.
Kucatat hal-hal penting yang dijelaskan Pak Tedjo di papan tulis. Zara juga tampak fokus di sebelahku. Sementara banyak temanku yang mengantuk dan menguap berkali-kali mendengarkan Pak Tedjo berbicara.
"Jadi, titik didih larutan elektrolit lebih besar karena kemampuan ionisasi larutan elektrolit yang menyebabkan jumlah zat terlarut lebih besar..." ucap Pak Tedjo menjelaskan. Tiba-tiba gerakan tangan dan mulutnya berhenti sambil memperhatikan murid-murid di kelas kami.
"Hei, jangan pada tidur! Bisa-bisanya kalian mengantuk di saat saya sedang menjelaskan." tegurnya membangunkan beberapa temanku yang mengantuk dan tertidur.
"Vivian!" tegurnya.
Kami melirik Vivian yang masih asyik tertidur di mejanya. Ah, dasar anak itu.
Vivian tak bergeming meski sudah ditegur oleh Pak Tedjo.
Plakk!
Sebuah penghapus papan tulis meluncur dan menghantam kaki meja Vivian. Sontak anak itu terbangun dan berbicara latah saking terkejutnya.
"Eh, eh, anak kodok, eh anak kodok," ucapnya latah. Teman-temannya tertawa geli mendengar perkataannya. Aku hanya geleng-geleng kepala mendengarnya. Tak biasanya si Ratu Cetar itu berbuat sekonyol itu.
"Vivian! Kerjakan soal nomor dua puluh di papan tulis!" titah Pak Tedjo. Vivian terperanjat dan buru-buru mengambil buku kimianya.
Ia berjalan kikuk menuju papan tulis. Lalu tangan cantiknya menulis untaian kata dan rumus asal-asalan di papan tulis putih. Aku dan Zara melotot kaget melihat apa yang dituliskannya di papan tulis. Begitu juga Pak Tedjo.
"Hei! Nomor dua puluh Vivian..." tegurnya.
"Eh, i-iya, Pak."
Anak-anak kembali tertawa. Vivian terlihat kagok menuliskan jawaban di papan tulis. Meski begitu, Pak Tedjo tetap membantunya mengerjakan soal tersebut.
"Duduk sana!" titahnya. Vivian berjalan kembali menuju tempat duduknya. Teman-temannya berbisik ria membicarakan dan menertawakan tingkah konyol Vivian. Vivian melayangkan tatapan tajamnya ke arah orang yang menertawainya. Ajaibnya, orang-orang tersebut tertunduk diam. Sebegitu seramnya kah, makhluk bernama Vivian?
Setelah Pak Tedjo selesai menjelaskan soal, beliau memberikan wejangan kepada kami. Ucapannya lebih dilayangkan kepada Vivian yang banyak berbuat salah di pelajaran Kimia hari ini. Pak Tedjo kembali mengingatkan bahwa tak lama lagi kami akan meninggalkan gedung sekolah ini. Ujian Akhir Semester dan kawan-kawannya sudah menanti di depan mata.
***
"Hihihi, si Vivian ada-ada aja ya!" celetuk Zara sambil meletakkan pantatnya di salah satu bangku di pojok kantin. Aku duduk di seberangnya.
"Kok dia bisa gitu ya, Za? Apa dia nggak takut keeksistensiannya menurun?" tanyaku bingung.
"Ya, begitulah Vivian, Nad. Tapi, aku juga kaget sih. Soalnya baru kali ini dia begitu. Hmm, sebenernya dari dulu dia emang suka bikin onar sih, tapi nggak separah hari ini." jelasnya.
"Emang biasanya kayak gimana, Za?" tanyaku setengah berbisik.
"Ya, gitu, Nad. Kayak-" percakapan kami terputus saat kedua bola mata kami memandang sosok Vivian dan teman-teman centilnya berjalan menuju salah satu meja di kantin.
"Duh, gimana sih lo, Vi? Ntar kalau ketenaran kita di sekolah ini menurun, gimana?" tanya Susan, gadis Jakarta berparas cantik yang merupakan salah satu antek-antek Vivian di sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Disappeared Memory (Completed)
Roman d'amourKetika sebuah memori harus memisahkan ikatan antara seorang tentara gagah dengan kekasihnya. Namun, tanpa kesengajaan, waktu kembali mempertemukan mereka setelah bertahun-tahun terpisah jarak kenangan. Cerita fiktif dari coretan-coretan absurd autho...