Bagian 38

5.9K 337 8
                                    

Pandu POV

"Nggak kok, buat apa marah? Aku nggak punya satu pun alasan buat marah sama kakak. Lagipula, tugas negara adalah prioritasmu, sementara aku hanyalah gadis yang diamanahkan papaku. Hanya itu kok, nggak penting juga. Hehe😅"

Pesan panjang itu menghampiri layar WhatsApp di ponselku. Aku miris membacanya. Apakah ini semacam unek-unek yang diam-diam disimpan Nada? Jadi... Nada menyimpan perasaan dan harapan padaku?

Apa ini salah satu tanda bahwa hatinya menerimaku lebih dari sebatas ajudan? Apa ini pertanda bahwa hubungan kami di masa lalu bisa kami rajut kembali?

Ah, aku tak bisa berkata apapun selain berkata 'maaf'. Bagaimana pun, aku merasa sedih karena ia berpikiran bahwa ia tak penting bagiku.

Kamu penting bagiku, Nada. Sangat.

Senyap yang membelah pulau Sumba malam ini nampaknya akan kurasakan lagi. Pasalnya, setelah Nada menyalurkan unek-uneknya, dia lebih memilih untuk memutus komunikasi dan pergi tidur. Apa secara diam-diam aku telah menyakitinya?

"Oh, mau tidur ya? Oke deh. Kita chattingan lagi lain kali," tulisku.

Dan obrolan kami diakhiri dengan kata "Night too."

Klik. Kumatikan ponselku. Lebih baik kunon-aktifkan sajalah benda itu. Toh Nada juga sudah offline. Mungkin gadis itu benar-benar sudah tertidur.

Sejenak bayangan gadis cantik itu terlintas di benakku. Juga tentang kenangan kami di masa kini maupun di masa lalu.

"Semangat, Kak. Jaga juga dirimu baik-baik disana. Jangan risaukan turnamenku, aku akan tetap  memenangkan pertandingan itu. Jaga kesehatanmu disana, jangan telat makan, jangan lupa sholat lima waktu, dan..."

Ah, gadis itu tak banyak berubah kendati pikirannya tak sama lagi. Ia tetap sosok gadis yang pengertian dan tabah menghadapi tugas-tugasku yang kerap kali memberi kami jarak dan waktu.

Flashback On

"Kak! Tunggu!"

Suara merdu seorang gadis tetiba membuatku terhenyak. Diantara orang-orang yang memenuhi pasar yang kulewati, entah mengapa aku merasa suara gadis itu memanggilku. Tapi siapa dia? Aku bahkan tak mengenali suaranya.

Ah, sudahlah. Aku harus segera pergi. Waktuku tidaklah banyak. Sekarang aku harus segera kembali ke Magelang. Aku menerobos orang-orang yang berlalu lalang di jalan pasar. Banyak perempuan baik itu ibu-ibu maupun gadis yang memperhatikanku.

Kulirik jam tanganku. Dua puluh menit lagi pesawat yang membawaku pulang akan segera take off. Sebagai taruna tingkat akhir aku harus bisa terus mendisiplinkan waktu.

"Kak! Tunggu!"

Lagi-lagi suara itu terdengar. Mau tak mau aku menoleh malas ke belakang, untuk melihat siapa pemilik suara indah itu. Tapi nihil. Tak kulihat siapapun orang yang memanggilku selain orang-orang yang kerepotan dengan barang belanjaan mereka.

Ah, buang-buang waktuku saja. Aku berbalik dan bergegas pergi.

"Kak! Tunggu! Sapu tanganmu!"

Glek. Sapu tangan? Aku menghentikan langkahku, kemudian kembali berbalik.

Kedua mataku terperangah saat melihat seorang gadis cantik dengan seragam SMA-nya berlari ke arahku. Dan... Tunggu, apa itu benda berwarna biru yang dipegangnya?

Gadis itu berdiri di hadapanku seraya membungkuk memegang kedua lututnya dengan nafas yang terengah-engah.

"Ada apa ya?" tanyaku.

Gadis itu berdiri tegak. Kedua mata indahnya memandang mata tajamku. Hatiku berdesir saat melihatnya. Entah mengapa jantungku juga berpacu lebih cepat.

Ada apa denganku?

"Ini, Kak. Tadi jatuh," ucapnya sembari memberikan sehelai sapu tangan berwarna biru kesayanganku. Astaga, mengapa bisa terjatuh dari saku celanaku?

Gadis itu memandangku penuh telisik. Saat ini aku memang sedang memakai seragam taruna Akademi Militer lengkap dengan ransel dan topinya.

Sesaat kemudian dia menunduk tak menatapku. Diam-diam kuintip badge lokasi sekolah yang terletak di lengan bajunya. Juga badge nama yang samar-samar kulihat, lantaran tertutupi sebagian oleh rambut indahnya.

"...Khayra H."

Sementara itu, riuh pasar semakin terdengar dari para penjual dan pembelinya.

Aku merebut pelan sapu tangan itu darinya.

"Terimakasih, Dek." ucapku yang walau terdengar datar tapi tulus.

"Iya Kak." gadis itu berjalan memunggungiku, mungkin hendak pergi.

"Eh, tunggu!" kali ini aku yang memanggilnya.

Gadis itu menghentikan langkahnya. Namun tak menoleh sedikitpun padaku.

"Nama kamu siapa?" tanyaku.

Gadis itu menoleh seraya berkata, "Nada." ia lalu tersenyum lembut padaku. Senyum terindah yang pernah kulihat.

Aku tersenyum samar. Jantungku berdegup kencang. Jadi, namanya Nada, ya?

Tiba-tiba aku teringat akan waktuku. Ya, aku harus pergi sekarang. Kami berjalan berlainan arah. Aku berjalan cepat kemudian menaiki taksi menuju bandara yang lumayan jauh dari sini.

Setelah kejadian itu, diam-diam aku selalu merindukan gadis itu. Aku berniat mencari gadis itu saat pesiar akhir pekan nanti.

Gadis itu sungguh ajaib. Dia sanggup membuatku tak nyenyak tidur setiap malamnya. Selalu menyita perhatian dan pikiranku. Sanggup menggempur beton hatiku yang kututup dari kata "cinta". Ya, sepertinya aku terjerat dengan istilah "love at the first sight."

Tapi, apalah daya. Aku hanya mempunyai modal nama dan ingatan wajahnya untuk mencarinya.

Tiba-tiba sebuah ide merasuki pikiranku. Dengan segera kuambil secarik kertas dan bolpoin di atas meja. Lalu kulukis wajahnya sebelum ingatan itu hilang. Beruntung pula lah aku karena pada saat itu sudah terkenal yang namanya medsos, jadi dunia maya juga bisa turut membantuku menemukan sosok gadis itu.

Oke, tenanglah, gadis ajaib. Aku akan menemukanmu bagaimanapun caranya, batinku.

Flashback Off.

Aku senyum-senyum sendiri mengingat bagaimana kami bertemu dulu. Ah, andai kamu ingat, Nad.

Tiba-tiba sebuah tangan tegap menepuk pundakku.

Aku terkejut, dan refleks melihat ke belakang. Ternyata Kapten Edi.

"Selamat malam, Letnan." sapanya.

"Siap, selamat malam, Kapten." ucapku seraya menghormat padanya.

"Istirahat dulu, Letnan. Bikin kopi, biar nggak ngantuk." ujarnya setelah membalas hormatku.

"Siap, Kapten. Kapten juga mau kopi? Biar sekalian saya buatkan." tawarku.

"Boleh. Jangan terlalu banyak gulanya." ujarnya mengiyakan.

"Siap, Kapten."

Kulangkahkan kakiku ke dalam pos. Tiba-tiba...

Duarrr! Duarrr!

Terdengar suara orang menarik pelatuk senapan. Aku bergegas tiarap untuk melindungi tubuhku. Setelah itu, tak terdengar suara apapun lagi saat kedua manik mataku memandang tubuh Kapten Edi yang terkapar di atas tanah.

***

Waduh, mulai muncul nih konfliknya.
Gimana, gengs? Kurang seru? Kurang apik? Walah, maaf deh ya. Semoga setelah ini author bisa menyuguhkan cerita yang lebih greget lagi. Hehehe...
Btw itu flashback-annya Pandu sebenernya saya ambil dari kisah nyata saya. Hehe... A little bit reality gitu deh😂

Oke, sampai sini aja deh ya, untuk part kali ini. Happy reading, dan semoga syukaa💕

Disappeared Memory (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang