Bagian 23

7K 396 3
                                    

Kriiiinggg!!!

Bel pulang berbunyi. Aku berjalan bersama Zara di lorong kelas. Aku menghela nafas lega karena Ujian Akhir Semester pada hari ini akhirnya selesai juga.

"Tadi gimana ujianmu, Za?" tanyaku.

"Alhamdulillah lancar, Nad. Kamu sendiri gimana?" tanyanya.

"Alhamdulillah lancar juga, Za. Ternyata, nggak sia-sia ya kita belajar bareng selama ini. Hehehe," ucapku.

"Wah, syukur kalau gitu. Iya, Nad. Aku juga seneng karena kita sering belajar bareng waktu itu, ujian kita jadi lancar dan mudah." ujarnya. Kami tersenyum.

"Nada!"

Aku mendengar seseorang berteriak memanggil namaku. Aku menoleh untuk melihat siapa yang memanggilku. Dan tampaklah sosok Kevin yang berlari mengejarku. Para siswi menatapnya takjub saat ia melewati mereka di lorong kelas.

Aku mengernyitkan dahi. Ada apa, ya? Kok sampai lari segala. Ada yang penting, kah?

"Nad, Nada," ucapnya seraya membungkuk di hadapanku dengan nafas yang masih terengah-engah.

"Ada apa, Vin?" tanyaku ramah.

"Umm..."

Aku menunggunya melanjutkan bicara.

"A-aku..." Ucapnya gantung. Tanpa kusadari ternyata sudah banyak orang yang memperhatikan kami. Eh, bukan deng. Lebih tepatnya, memperhatikan Kevin.

"Apa?"

"Em, aku antar pulang ya?" tawarnya seraya berdiri dan menatapku lekat.

Aku berdiri menatapnya tanpa ekspresi. Sedikit mendongak karena postur tubuh Kevin yang sedikit lebih tinggi dariku.

"Mau nggak?" tanyanya memastikan.

"Ehem, ehem," terdengar suara cewek berdehem dan menengahi pembicaraan kami. Eh, salah. Pembicaraan Kevin maksudnya.

Ternyata, yang berdehem tadi adalah Vivian, si Ratu Cetar.

"Kevin... Pulang sama aku aja yukk," rengeknya seraya bergelayut manja di lengan Kevin.

"Aduh, duh, jangan gini dong, Vian. Aku tuh ngajak Nada. Bukan kamu," elaknya. Vivian memajukan bibirnya tak suka. Aku menatap mereka enggan sekaligus jijik. Sebenarnya, mereka berdua itu pasangan yang cocok. Sangat. Kenapa Kevin nggak pacarin Vian aja kalau gitu? Kenapa dia masih suka menggangguku? Cewek yang jelas-jelas tak terlalu suka dengan caranya mendekatiku. Meski begitu, aku tetap harus menghormatinya. Kevin adalah seniorku di tim basket. Dia adalah seorang Kapten yang akan memimpin perlombaan kami nantinya. Ya, meski tak lama lagi dia akan lengser dari posisi itu. Jabatan Kapten tak akan lagi disandangnya. Tetapi akan diberikan ke adik kelasnya.

"Eh... Lagipula, nanti kita mau latihan basket bareng kan, Nad?" tanyanya meminta persetujuanku.

Aku tercekat. Latihan basket? Bareng? Hari ini? Kayaknya kami nggak rencanain itu deh. Entah kebohongan apa yang digunakannya dengan mengatasnamakan diriku.

"Engg,, nggak Vin, aku nggak bisa. Aku nggak diizinkan latihan basket sama papa. Lagipula, minggu ini kan kita harus fokus ujian," kilahku.

Kevin dan Vivian terdiam mendengar penolakanku secara halus.

"Vin... Ayolah, pulang sama aku aja... Yuk, yuk, mau yuk?" rengeknya manja.

"Duh, tapi aku maunya sama Nada, Vian," elaknya. Aku tersentak mendengar elakannya. Demi apa dia menolak Vivian dan lebih memilih aku?

Vivian menatapnya nanar. Aku merasakan sakit di pelipisku. Zara yang sedari tadi diam juga tak sanggup bicara apa-apa. Huh, pusing juga menghadapi mereka berdua.

"Eh, ya udah, kamu antar pulang Vivian aja, Vin. Aku kan nanti pulangnya dijemput," ujarku menengahi mereka. Mata Vivian berbinar senang. Sementara Kevin melengos kesal.

"Ya udah, kami duluan ya, dah" ucapku pamit seraya menarik pelan tangan Zara untuk pergi dari situasi memusingkan tadi. Langkah kami terus diiringi dengan tatapan tajam para siswi yang tak menyukaiku. Lebih tepatnya, tak menyukai kedekatanku dan Kevin. Eh, padahal yang deket-deket itu Kevin, loh! Bukan aku.

"Duh, kok bisa-bisanya ya si Kevin nolak Vivian tadi?" sungut Zara.

"Ya nggak tau, Za. Padahal, mereka kan cocok banget. Kenapa sih nggak jadian aja? Kan lumayan tuh, mengurangi populasi jomblo di negeri ini." tukasku.

"Hahaha, lucu kamu, Nad! Iya juga sih, kenapa mereka nggak jadian aja ya?"

"Nada!" suara Kevin menggema memanggil namaku. Baru saja aku melangkah keluar gerbang, tapi tanganku ditahan oleh Kevin. Dan diikuti dengan Vivian yang masih merengek-rengek di lengan kirinya.

Entah drama apa lagi yang akan kuhadapi kali ini.

"Nad, pulang sama aku aja yuk," pintanya.

"Jangan, Vin, pulang sama aku aja," rengek Vivian.

"Nggak mau, Vian, kamu pulang aja sama si Agus, tuh!" sergah Kevin.

Oh iya, fyi Agus itu cowok kutu buku yang termasuk jajaran siswa pintar di sekolah ini. Meski tampangnya beda jauh sama Kevin, tapi dia sudah naksir sama Vivian sejak dulu. Kenapa aku bisa tau? Iyalah. Zara sudah menceritakannya padaku.

"Ih, emoh ah! Aku nggak mau sama si cupu itu!" elak Vivian.

Aduh, pusing deh, pikirku.

"Ehem, maaf, ada apa ini?" tiba-tiba suara berat seseorang menghentikan pertikaian konyol yang terjadi di gerbang sekolah sore ini.

Dan.... Tadaaa! Seorang pria tinggi nan tampan (melebihi tampannya Kevin) dengan seragam dinas hariannya alias PDH, dan baret hijaunya yang melekat di tubuhnya, datang menengahi kami.

Kudengar para siswi berdecak kagum dan berbisik-bisik membicarakan tentara berwajah tegas yang tiba-tiba nyasar ke sekolah ini. Tentara itu tak lain dan tak bukan adalah Kak Pandu. Iya, 'Kak', bukan 'Om'. Hehehe.

"Eh, i-ini, a-anu, Om..." ucap Kevin gugup. Tubuhnya berguncang mengisyaratkan ketakutan yang luar biasa saat melihat sosok Kak Pandu.

Sementara itu, Vivian yang berdiri di sampingnya terus memandang Pandu dengan wajah puppy facenya. Aduh, kecentilan stadium akhir ini mah.

"Nad, ayo pulang." ajak Kak Pandu seraya tersenyum tipis padaku.

"Za, kamu mau pulang bareng aku atau gimana?" tanyaku pada sahabatku.

"Nggak usah, Nad, makasih. Sebentar lagi Bunda jemput kok," elaknya sopan.

"Oh, gitu. Ya udah, pulangnya hati-hati ya. Aku duluan ya," pamitku. Zara tersenyum padaku.

"Iya, hati-hati di jalan, Nad," ucapnya.

Kak Pandu menarik tanganku pelan. Ia menyelamatkanku dari drama tak penting yang membuat kepalaku pusing tujuh keliling.

Dan kepergianku hari ini menyisakan teman-temanku yang berdiri mematung melihat tentara tadi datang untuk menjemputku.

Disappeared Memory (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang