Bagian 3

13.9K 677 3
                                    

Ting... Ting... Ting...

Jari jemari Nada menari-nari di atas tuts piano kesayangannya. Ia asyik saja kendati suasana di rumahnya sedang repot. Ya, tampaknya jiwa musiknya tetap mengalir dimanapun dan bagaimanapun situasi sekitarnya.

Pagi ini rumahnya sedang dipenuhi anggota-anggota papanya yang sedang membantu membereskan barang-barang. Ya, hari ini Nada dan papanya resmi pindah ke rumah barunya di Jogja. Hal ini disebabkan karena adanya pemindahan dinas papanya.

Melihat keasyikan putrinya, Pak Hendrawan hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Ia tampak repot mengatur anggotanya yang sedang korve. Namun, dibalik itu, ia juga merasa senang karena putrinya sudah kembali ceria.

"Saya ikut senang melihat putrimu sudah kembali ceria. Ia tampak mahir sekali bermain piano," puji Pak Wiratno, sesama Jenderal.

"Iya, Pak. Nada memang sangat menyenangi piano sejak ia kecil. Saya juga merasa bersyukur karena ia sudah ceria seperti sedia kala. Meski ingatannya belum pulih kembali," ucap Pak Hendrawan.

Pak Wiratno menepuk pundak temannya itu. "Sabarlah, Pak. Saya yakin, seiring berjalannya waktu, ingatan putrimu bisa kembali normal." ucap Pak Wiratno menghibur. Pak Hendrawan tersenyum.

***

Suara televisi terdengar di ruang tengah. Hati Nada bergembira karena sang papa bisa meluangkan waktunya di rumah malam ini. Dengan langkah pelan, ia mendatangi papanya sambil membawakan secangkir kopi.

"Nada? Sini duduk, Nak." ucap papa. Matanya tetap tertuju pada layar televisi. Nada mempercepat langkahnya, meletakkan kopi tersebut di atas meja, lalu duduk di samping papanya.

"Wah, terimakasih, Nak." ucap sang papa sambil menyesap kopi buatan putrinya.

"Makin mahir saja kamu membuat kopi, sama seperti mamamu," puji papa. Nada nyengir kuda.

"Kamu sudah siapkan peralatan sekolahmu untuk besok?" tanya papa.

Nada mengangguk mantap. "Sudah, Pa. Nada sudah membereskannya sejak kemarin." jawab Nada.

"Wah, anak papa memang anak yang rajin. Belajarlah yang tekun. Tingkatkan prestasi di sekolah barumu. Jangan nakal ya, Nak!" ujar Pak Hendrawan mengingatkan. Nada kembali nyengir.

"Siap, Papa!" jawabnya lantang sambil memberi hormat. Sang papa mengacak-acak rambut putrinya gemas.

"Sudah, tidur sana! Besok sekolah," titahnya. Nada mengangguk patuh. Dengan langkah gontai ia menaiki tangga dan memasuki kamar tidurnya di lantai dua.

***

Pagi menjelang. Suara burung berkicau merdu dan hangatnya mentari menambah semangat Nada di hari pertama sekolahnya. Pasti akan sangat menyenangkan bisa berkenalan dengan banyak teman.

Nada beranjak bangun dari tempat tidurnya, menggeliat, lalu membuka jendela kamarnya. Ia menghirup udara pagi yang menyejukkan. Kehangatan sang surya meresap ke dalam pori-pori kulitnya. Ia tersenyum sambil melihat aktifitas orang-orang di komplek perumahannya.

"Selamat pagi dunia!" ucapnya. Nada memang gadis periang yang suka menyapa. Tak dapat dipungkiri bila banyak orang yang menyukainya.

Nada mengambil handuknya lalu melangkah santai menuju kamar mandi.

***

Nada tengah sibuk menyisir rambutnya tatkala ia mendengar suara orang mengobrol di ruang tengah. Alisnya bertaut bingung lalu mempercepat aktifitasnya. Ia memakai bando putih di atas kepalanya, lalu memakai jam tangannya. Nada bukan tipe gadis yang suka berdandan hanya untuk pergi ke sekolah. Tak seperti gadis lainnya, ia bahkan tak pernah memakai bedak saat pergi ke sekolah. Meski begitu, ia tetap terlihat cantik dengan kulit putih, mata hazel dan hidung lancipnya. Penampilan naturalnya sanggup membuat siapapun jatuh cinta padanya.

Nada bergegas menuruni tangga dan menghampiri papanya. Suara langkah sepatu di tangga terdengar keras karena Nada setengah berlari melewatinya.

"Pagi, Pa," sapa Nada. Lalu mengecup lembut pipi papanya. Hal itu membuat Pak Hendrawan sungkan karena ia sedang berbicara dengan anggotanya.

"Eh, pagi juga, Nak. Sudah siap?" tanya papa lembut.

"Sudah, Pa." Nada menoleh ke pria yang sedang bicara dengan papanya. Pria itu terlihat tampan, bermata tajam, berbadan kekar dan berseragam seperti papanya. Nada memandangnya aneh tatkala pria itu terkejut melihatnya.

"Lettu Pandu, perkenalkan ini putri saya." ucap Pak Hendrawan. Nada tersenyum, tapi pria itu tak membalas senyumannya. Wajahnya datar seperti papan tulis.

"Siap, Pak!" ucapnya lantang. Kemudian ia mengulurkan tangannya.

"Pandu,"

"Nada," ucapnya ceria.

"Maaf, Pandu. Anak saya memang gadis yang ceria," ucap Pak Hendrawan.

"Siap, tidak apa-apa, Pak." ucap Pandu.

"Nada, Lettu Pandu ini ajudan papa, dia adalah prajurit yang sangat papa percayai. Dia akan membantu papa untuk menjaga dan melindungimu." ujar Pak Hendrawan.

"Maksud papa, kayak bodyguard, gitu?" tanya Nada bingung.

"Iya, Nak. Papa tidak mau kecelakaan itu terjadi lagi padamu. Papa akan lebih menjagamu mulai saat ini. Hanya kamu yang papa punya, Nada." jelas Pak Hendrawan.

Nada menghela nafasnya. Ia berpikir-pikir. Tindakan papanya memang tak salah. Nada memang anak sematawayang papanya. Pantas saja jika papa sangat ingin melindunginya.

Nada mengangguk patuh.

"Ya sudah, Letnan, tolong antar Nada, ya." pinta Pak Hendrawan.

"Siap, Pak!"

Disappeared Memory (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang