Bagian 13

8K 425 0
                                    

Minggu berikutnya, Nada sudah kembali ceria. Ia kembali mengikuti pelajaran setelah tiga hari dirawat di rumah sakit.

"Pagi Zara!" sapa Nada ceria. Ia lantas menduduki kursinya yang letaknya berdampingan dengan Zara.

"Pagi juga, Nad. Wah akhirnya kamu masuk sekolah juga." ucapnya syukur.

"Kenapa? Kangen yaa sama aku?" goda Nada usil.

"Ih, enak aja!" elak Zara lantas ditanggapi oleh gelak tawa keduanya.

"Oh ya, em... Nad? Aku minta maaf ya, kamu masuk rumah sakit gara-gara aku. Seharusnya waktu itu aku antar kamu pulang, atau seenggaknya aku temenin kamu sampai kamu dijemput," lirihnya.

Nada tersenyum lembut. "Nggak apa-apa, Za. Ini bukan salahmu, kok. Yang penting kan, sekarang aku udah nggak kenapa-napa. Hehe," ujarku menenangkan.

"Tapi, Nad... Aku jadi ngerasa bersalah..."

Nada menepuk pundak kawan karibnya tersebut.

"Udah, kamu nggak salah kok. Kalaupun kamu ngerasa bersalah, aku udah maafin kamu. Sekarang, kita nggak usah inget-inget kejadian itu lagi. Oke?" hiburnya. Zara tersenyum lesu lalu mengangguk pelan.

***

Nada POV

Kriinggg!!! Bel istirahat berbunyi. Murid-murid di kelasku menghela nafas lega karena akhirnya pelajaran Matematika dengan Pak Ferdi selesai. Ya, menurut kebanyakan murid di sekolah ini, Pak Ferdi adalah guru tergalak dan terdingin di sekolah ini. Beliau selalu siap dengan tongkat kayu panjangnya yang siap mampir ke tangan muridnya bila tak mengerjakan tugas darinya. Manik matanya tajam bagai elang yang siap menerkam. Raut wajahnya menegangkan seperti singa yang lapar. Derap langkah kakinya yang bergema mampu mengubah suasana pagi yang tadinya cerah dan terang benderang, menjadi gelap dan penuh ketegangan. Setiap langkah kakinya membuat para siswa bergidik ngeri. Seketika, angin bergemuruh kencang dan hujan turun dengan derasnya. Hehe, kok bisa gitu ya? Ya, nyatanya, hal itu sering kami alami di kelas saat guru killer itu mengajar. Entahlah, mungkin itu cuma kebetulan.

Balik lagi ke aku dan Zara, kami berjalan menuju kantin sekolah tempat kami memuaskan lapar dan dahaga. Tak seperti Zara yang ingin cepat-cepat sampai dan makan di kantin, aku memilih berjalan pelan mengekorinya.

Berulang kali Zara merengek dan menegurku karena langkahku yang lamban. Bukan tanpa sebab aku melambatkan langkahku. Pasalnya, sedari tadi ada hal yang terus menerus menggelayuti pikiranku. Ya, kejadian minggu lalu tepat beberapa saat sebelum aku bangun dari tidurku, aku merasakan mimpi yang cukup aneh. Saat itu, kudengar suara laki-laki bicara padaku. Ia berbicara banyak, tapi sayangnya, otakku tak merekam semua perkataannya. Hanya beberapa kata yang masih teringat dalam pikiranku.

"Nad, kamu mau makan apa?" tanya Zara menginterupsi lamunanku. Aku gelagapan saat ia menyentuh lenganku.

"A-apa? A-aku... S-samain aja kayak kamu, Za." jawabku. Zara memandangku aneh. Lalu ia memesankan mie ayam untukku.

"Pria dingin bermata elang yang selalu kamu rindukan."

Pria dingin bermata elang? Siapa dia? Apa mungkin Pak Ferdi? Aihh, ngawur kamu, Nad.

"Dulu, kita sering menghabiskan waktu bersama."

Dulu? Kita? Jadi, kami sudah kenal dan dekat dari dulu? Tapi, siapa dia? Kenapa aku nggak kenal sama dia?

"Kamu juga selalu memberiku kejutan manis yang sanggup meluluhkanku."

"Aku mencintaimu, Nada Khayra."

Ah? Cinta? Apa dia pacarku? Memangnya, dulu aku punya pacar? Ah, pikir, pikir! Kenapa aku bisa lupa?

Lagi-lagi Zara menyentuh lenganku yang tengah menjambak pelan rambutku. Ia memandangku bingung dan khawatir.

"Nad? Kamu kenapa sih? Dari tadi kok kayak orang banyak pikiran gitu? Kamu kenapa? Sakit?" tanyanya cemas.

Aku tersenyum getir. "Ah, nggak pa-pa, kok." kilahku.

"Kamu yakin? Kamu mikirin apa sih, Nad? Ada masalah? Kalau mau cerita, kamu boleh kok cerita ke aku. Aku siap menampung ceritamu." tawarnya. Lagi-lagi, aku hanya tersenyum simpul menanggapi tawarannya.

Aku bingung. Sangat bingung. Kepada siapa aku harus bertanya? Kepada temanku? Ah, bahkan sahabatku Zara tak mengenali teman dan pacarku di masa lalu. Aku kan masih 'bau kencur' di sekolah ini.

Bertanya ke papa? Ah, sungkan rasanya. Nggak ada angin, nggak ada hujan, tiba-tiba aku bertanya soal pacar di masa laluku.

Bertanya ke Om Pandu? Ah, mana tau dia. Aku bahkan baru mengenalnya saat kepindahanku dan papa di kota ini. Nggak mungkin dia tau tentang masa laluku.

Lalu, aku harus bertanya ke siapa? Aku harus bisa memecah rasa penasaranku sebelum aku jadi gila karenanya. Tuhan, tolonglah hamba-Mu ini...😥😥😥

Disappeared Memory (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang