"Kapten, bangun Kapten!" ucapku panik. Karena tak aman, kubopong tubuh Kapten Edi masuk ke dalam pos.
Lalu kuisyaratkan pada tentara yang lainnya untuk bersiaga. Posisiku menggantikan Kapten Edi.
Dengan segera kuperintahkan beberapa anggotaku untuk berjaga di segala sisi seraya bersembunyi.
"Sertu Dhika! Jaga Kapten!"
"Siap, Danton!"
"Siaga satu... Siaga satu... Macan putih masuk,"
"Siap, lapor elang disini,"
"Sebagian pasukan teroris sedang menuju posmu, tolong bersiaga. Kami segera kesana,"
"Siap!"
Untunglah di luar tak terlalu gelap walau tengah malam. Seberkas sinar bulan purnama membantu kami melihat segerombolan orang berbaju hitam dengan lambang biru di lengannya. Diam-diam, aku mengetahui gerak-gerik mereka dari celah jendela. Samar-samar kulihat beberapa orang disana yang menenteng sebuah assault rifle. Orang itu adalah orang yang sama dengan orang yang hampir membunuhku di hutan Sumba setahun yang lalu.
Tanganku mengepal menahan marah. Ya, bagaimana pun aku ingin membalaskan dendamku pada mereka. Sepertinya mereka tak tahu bahwa aku selamat dan ikut andil dalam misi kali ini. Hah, tenang saja. Aku akan menumpas mereka. Aku kan sudah berpengalaman hidup lama di hutan ini, sendirian.
"Siapa mereka, Kapten? Lawan atau kawan?" tanya Sertu Fiyan berbisik padaku.
"Tentu saja lawan! Kalau mereka kawan, mereka tak akan menyerang duluan pos ini. Apalagi sampai menyerang Kapten. Apa kau tak lihat, lambang kecil biru di lengan mereka? Itu adalah pertanda bahwa mereka adalah teroris incaran kita. Lagipula, kawan kita semuanya sudah tahu dimana letak pos-posnya. Mereka tak mungkin salah sasaran." jawabku pelan tapi tegas.
"Siap salah, Ndan!" ucap Sertu Fiyan dengan nada pelan.
"Sertu Dhika, terus jaga Kapten!" perintahku. Sertu Dhika menganggukkan kepalanya mantap.
"Teruslah bersiaga, sebentar lagi bala bantuan akan datang." ucapku. Anggotaku mengangguk patuh.
Mata kami sudah handal menghadapi musuh kala malam seperti ini. Layaknya kucing yang pandangannya tajam di malam hari.
Duarr! Duarr!
Aku memberi isyarat anggotaku untuk mulai menyerang. Dan jadilah baku tembak antara timku dan para teroris di luar pos.
"Fire!" ucapku penuh gairah. Uratku serasa mau meledak saking bersemangatnya. Untaian doa selalu kuucapkan dalam hati, meminta perlindungan dari Allah untuk diriku dan para anggotaku.
***
Pagi menjelang. Nada tengah menyantap sarapannya bersama sang papa.
"Nak, papa mau tanya sesuatu sama kamu." ucap Pak Hendrawan menginterupsi. Beliau telah menghabiskan sarapannya.
Nada diam sejenak seraya mengunyah sarapannya.
Aneh. Gak biasanya papa bilang dulu kalau mau tanya apa-apa ke aku. Biasanya juga langsung nanya. Apa mungkin penting ya? Pikirnya.
Nada meneguk air putih di gelasnya, lalu menjawab ucapan papanya.
"Soal apa, Pa?" tanyanya. Nada kemudian meneguk lagi airnya dan berniat menandasnya.
"Soal studimu, dan soal... Pria." jawab sang papa.
Deg!
Nada tiba-tiba merasa tersedak. Ia terbatuk-batuk mendengar ucapan papanya. Dia gak salah denger kan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Disappeared Memory (Completed)
RomansaKetika sebuah memori harus memisahkan ikatan antara seorang tentara gagah dengan kekasihnya. Namun, tanpa kesengajaan, waktu kembali mempertemukan mereka setelah bertahun-tahun terpisah jarak kenangan. Cerita fiktif dari coretan-coretan absurd autho...