Bagian 4

12.4K 704 1
                                    

Kecanggungan terjadi saat Pandu berada semobil dengan Nada, mantan kekasihnya. Eh, mungkin Nada belum menjadi mantannya. Ya, mereka belum putus hubungan. Mereka terpisah karena kejadian mengenaskan setahun yang lalu. Sebuah tragedi yang memisahkan mereka.

Flashback On

"Aaaarrggghhh!" aku berjalan tertatih menuju hutan.

Kulepas seragam lorengku dan kaus cokelat dalaman seragamku. Kurobek kaus tersebut, lalu kugunakan untuk membalut luka tembakku. Meski peristiwa penembakan di hutan ini sudah selesai, aku harus tetap berhati-hati.

Aku merintih kesakitan karena tak bisa berbuat banyak pada lukaku. Yang kulakukan hanya membebatnya supaya pendarahannya berhenti. Kulihat hutan ini sangat sepi, tak kulihat lagi teman-temanku. Mereka kemana? Apa mereka pulang? Lantas, mengapa mereka meninggalkanku?

Sejenak kemudian, barulah aku menyadari hal itu. Aku tercebur ke dalam air setelah mereka menembak kakiku. Mungkin karena itulah teman-temanku tak berhasil menemukanku.

Seketika pikiranku tertuju pada gadisku, Nada. Bagaimana keadaannya di Jakarta? Apa ia masih menungguku pulang?

Ah, tiba-tiba aku merindukannya. Aku merindukan canda tawanya, sikap periangnya dan sikap cerewetnya yang kadang kuacuhkan dengan sikap dinginku.

Aku mendesah. Penyesalan menyerangku. Seharusnya, aku tak bersikap dingin padanya. Seharusnya, aku menghargai setiap hal manis yang dilakukannya.

"Happy birthday, Kakak!"

"Hmm... Aku kangen banget sama Kakak..."

"Kakak? Lagi apa? Udah makan? Udah sholat? Kak Elang kangen yaa sama aku..."

Aku tersenyum kecut memikirkannya. Aku sangat merindukan panggilannya. Ia selalu memanggilku 'Elang' karena mata tajamku. Ah, dia lucu sekali.

Tiba-tiba, aku teringat saat kejadian malam itu. Saat itu, Nada membohongiku dengan berkata bahwa ia sedang dalam keadaan darurat dan membutuhkan pertolonganku. Aku yang kebetulan sedang reuni bersama teman-teman SMA-ku di Jakarta, mendadak panik dan bergegas menemui Nada. Tapi, nyatanya ia membohongiku dan memberiku kejutan. Ia mendatangiku dengan membawa kue dan lukisan buatannya.

"Yeeeyyy! Happy mansiversarry Kakak!" ucapnya ceria.

"Kamu tuh apa-apaan sih? Emang penting ya ngerayain hal kayak gini? Buang-buang waktu, tau nggak?" tanyaku emosi.

"Eh, nggak, Kak... Aku cuma–" kilahnya.

"Kamu tau kan, aku tuh sibuk! Aku nggak punya waktu buat urusan gak penting kayak gini!" bentakku.

"Eh, eh, maaf, Kak... Aku nggak bermaksud ganggu Kakak..."

"Ah, sudahlah!"

Lagi-lagi, rasa bersalah menyelimutiku. Seharusnya, aku tak menyakiti perasaannya saat itu. Ia memang salah karena sudah membohongiku. Tapi, seharusnya aku tetap menghargai usahanya memberiku kejutan semanis itu.

"Aaarggghhh!" Aku menjambak rambutku kesal. Dipikir-pikir, tak ada yang mendengar jeritku tadi. Sepertinya, tempat ini aman untukku.

Tiba-tiba, suara semak-semak mengagetkanku. Kusiapkan senjata api yang untunglah masih bertengger di celanaku. Meski basah, aku tak peduli. Hanya itu senjata yang kupunya. Aku sudah tak kuat lagi melawan. Kakiku saja sudah tak sanggup lagi berdiri.

"Sedang apa kau disitu?" tanya seorang nenek mengagetkanku. Ia membawa parang dan keranjang berisi rerumputan.

"S-saya..."

"Kau terluka? Astaga, kau harus segera diobati, Nak." nenek itu memotong perkataanku. Ia terkejut saat melihat seragamku terkapar di atas tanah.

"Kau tentara, kah?" tanyanya. Aku mengangguk lemah. Nenek itu berkata padaku bahwa sebaiknya seragam itu ditinggal saja di sini, agar mereka tak mengetahui statusku sebagai seorang TNI. Aku juga meninggalkan kalung identitasku di atas tanah.

Ia itu menengok ke kanan dan kiri. Setelah dirasa aman, ia membantuku keluar dari hutan.

Berhari-hari bahkan berbulan-bulan wanita itu menampungku di rumahnya yang berada di pelosok hutan. Nenek itu hidup sebatang kara dengan menjual kayu bakar. Setelah kondisiku sembuh total, aku membantu nenek mencari kayu. Beliau adalah seorang nenek yang baik dan penyayang.

Beberapa bulan setelahnya, nenek mengantarku ke kota. Beliau melepasku untuk kembali ke barak. Rasa sedih menyelimutiku ketika kami berpisah. Bagaimanapun, ia sudah kuanggap sebagai ibuku sendiri. Tapi, apa boleh buat. Aku tetap harus pulang dan merevisi ulang data bahwa aku masih hidup.

Flashback Off.

Pandu POV

Aku diam mematung di balik kemudi. Satu tahun tak bertemu dengannya, Nada tak banyak berubah. Ia masih terlihat cantik dam ceria. Ingin sekali aku memeluk Nada, melepas semua kerinduan yang lama kupendam. Sejenak kuurungkan niatku. Perkataan Jenderal tiba-tiba terlintas dalam pikiranku.

"Putri saya mengalami kecelakaan dan mengakibatkan dirinya lupa ingatan. Ia tak bisa mengingat hal-hal yang terjadi sebelum kecelakaan."

Deg! Hatiku terpukul mengingat hal itu. Seketika aku sadar, Nada tidak akan seperti ini jika bukan karenaku. Aku terlalu banyak menoreh luka di hatinya. Pantas saja ia tak terkejut ketika melihatku. Sikapnya sama seperti baru pertama kali mengenalku.

"Di SMA Pertiwi ya, Non?" tanyaku. Kulirik Nada lewat cermin. Ia terlihat santai dengan ponsel dan earphonenya. Mendengarkan musik memang sudah menjadi hobinya. Sesuai dengan namanya, gadis itu memang sangat mencintai segala hal tentang musik.

"Iya, Pak. Oh ya, tolong jangan panggil saya Non, panggil Nada aja." ucapnya polos.

"Maaf, Non." ucapku. Ah, sudahlah. Aku tak peduli.

Kami sampai di depan gerbang sebuah gedung sekolah. Aku membukakan pintu untuknya.

"Makasih ya, Pak." ucapnya.

"Sama-sama. Oh ya, tolong jangan panggil saya 'Pak', panggil Pandu aja." ucapku, membalikkan perkataannya tadi. Ia menaikkan sebelah alisnya. Lalu tersenyum dan melangkah ceria memasuki gedung sekolahnya yang baru.

Senyuman yang lama kurindukan itu berhasil meluluhkan hatiku. Setelah satu tahun berlalu, akhirnya Tuhan kembali mempertemukan kami. Apa Nada memang jodohku? Sungguh indah takdir yang digariskan-Nya. Ya, Tuhan Maha Baik.

Disappeared Memory (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang