Bagian 20

7.7K 447 9
                                    

"Nggak ada lagu yang lain ya, selain lagu galau?"

Nada tercekat mendengar suara itu. Suara lelaki yang baru saja dirindukannya. Matanya membelalak, lalu ia menolehkan wajahnya untuk melihat orang yang tadi mengajaknya bicara.

"Eh?" ucap Nada tercekat.

"Kenapa? Apa aku mengganggumu pagi ini?" tanya Pandu heran. Nada menggeleng. Ia kembali mengedarkan pandangannya ke tubuh pria itu. Dari mulai ujung rambut, sampai ke ujung kaki.

Dalam hati, Nada merasa kasihan. Seragam gagah milik Pandu terlihat agak lusuh karena mungkin selama tiga bulan ini, ia ditempatkan di medan yang cukup rawan. Meski senyuman terus melekat di bibirnya, namun raut wajah tegasnya menunjukkan kelelahan yang amat sangat. Hmm, dari tampilannya kini, Nada mulai mengetahui sifat lain Pandu yang sebelumnya tak ia ketahui. Pandu, pria dingin dan cuek, yang ternyata punya sifat tekun, penyabar, dan pekerja keras. Tanpa ia sadari, hatinya makin luluh mengetahui hal itu.

Sementara Pandu yang merasa sebal karena ucapannya tak ditanggapi, lambat-laun menyusut senyumnya. Ia melayangkan tatapan dingin ke arah gadis yang sedari tadi memandanginya, seperti orang baru pertama kali lihat saja, begitu kira-kira yang ada di pikiran Pandu saat ini. Ia merasa jengah karena gadisnya melihatnya seperti itu.

"Ngapain kamu lihat aku kaya' gitu? Kaya' lihat maling aja," tegurnya sambil berkacak pinggang. Dalam hati, ia ingin sekali melabuhkan pelukannya ke tubuh gadis itu. Seperti halnya yang biasa mereka lakukan dulu, setelah Pandu pulang tugas.

"Hehehe," gadis itu nyengir tanpa dosa.

Nada berdiri dari duduknya, lalu menyandarkan gitarnya ke tembok. Ia berjalan pelan menuju pria yang kini berdiri tegap di depannya.

Hasratnya membuncah. Ia ingin segera berlabuh dalam pelukan pria tersebut. Tapi, entah mengapa ia merasa sangsi. Ya, masa dia yang meluk duluan? Dia kan cewek, lagipula, memang dia siapanya Pandu? Hubungan mereka tak lebih dari sekedar ajudan dan nona mudanya.

"Kenapa? Ragu untuk memelukku?" tanya Pandu. Pertanyaannya kali ini membuat gadis itu terkejut. Nada tertunduk. Tak berani menatap mata tajam milik pria itu.

"Oh, come on," pria itu menyambutnya untuk segera memeluknya. Ia melihat Nada tak bergeming di depannya. Mungkin ia masih canggung.

Pandu memeluk gadisnya tiba-tiba. Ia mendekap hangat gadisnya, dan membiarkan ia bersandar di dada bidangnya. Biarkan ia ikut merasakan jantung Pandu yang berdetak kencang sejak saat manik matanya melihat sosok gadis yang ia rindukan.

Lama kelamaan, gadis itu luluh. Nada membalas pelukan Pandu. Ia melingkarkan kedua tangannya erat di pinggang ramping Pandu. Kali ini, Pandu juga bisa merasakan ritme jantung Nada yang berdegup tak kalah kencang darinya.

"Om udah pulang?" tanya Nada.

Pandu mendesah. "Iya lah udah, kalau belum, kamu nggak bakal lihat aku berdiri di sini."

Nada nyengir kuda. Lalu kembali menyandarkan kepalanya di dada bidang milik Pandu.

Pandu mengendurkan pelukannya. Nada mendongak, menatap wajah lelah Pandu. Seketika, kedua mata mereka saling beradu.

"Maaf ya, aku selalu ganggu kamu selama nugas." ucap Pandu seraya menyingkirkan anak rambut di dekat telinga Nada.

Nada tersenyum gugup. Entah mengapa ia merasa kikuk berada di dekat pria tampan itu. Wajah tampannya tak hilang walau ia baru saja ditempatkan di daerah paling timur Indonesia selama berbulan-bulan.

"Maaf juga karena udah marah-marah di telepon," ucap Nada parau. Pandu tertawa ringan.

"Aku sudah memaafkanmu," ucapnya.

"Aku juga sudah memaafkanmu," ucap Nada.

"Aku lebih memaafkanmu." ujar Pandu.

"Tidak. Aku lebih memaafkanmu." ujar Nada menimpalinya.

"Aku sudah sangat memaafkanmu." ujar Pandu.

"Aku lebih sangat memaafkanmu." ujar Nada.

"Aku!"

"Aku!"

"Aku!"

Tiba-tiba, mereka tertawa bersama mengakhiri perdebatan konyol mereka.

"Kamu lucu ya," puji Pandu.

"Kamu juga lucu," balas Nada tak mau kalah. Pandu tersenyum.

"Kamu sehat?" tanya Pandu seraya berjalan menuju balkon.

"Seperti apa yang kamu lihat sekarang," jawab Nada.

Pandu tersenyum hangat. Matanya memandang junior-juniornya sedang sibuk apel pagi di barak yang letaknya tak jauh dari kami. Para tentara muda itu bisa terlihat jelas dari atas sini.

"Om nggak ikut apel?" tanya Nada.

Pandu tersenyum getir. "Nggak lah. Aku kan baru pulang tugas." jawabnya.

"Jadi?"

"Jadi, ya, aku cuti seminggu." jawab Pandu. Ia mengedarkan pandangannya ke semua sudut ruangan ini. Lalu terhenti saat ia melihat tumpukan kanvas di atas meja. Ia berjalan ke arahnya.

Jantung Nada tercekat. Ia lupa menyembunyikan kanvas-kanvas itu. Tangannya berusaha menyingkirkan tumpukan kanvas itu dari pandangan Pandu. Namun terlambat. Tumpukan kanvas itu sudah jatuh ke tangan tegap Pandu.

Nada pasrah. Ia menggigit bibir bawahnya.

Manik mata Pandu berbinar saat menjejalkan pandangannya ke semua lukisan buatan Nada. Semua lukisan itu bergambar dirinya. Ada yang terbuat dari cat air, ada juga yang terbuat dari guratan pensil, membentuk sebuah sketsa wajah yang indah. Pandu mengagumi bakat Nada melukis yang tak pernah hilang walau ingatannya lenyap sebagian.

"Ini apa sih? Semacam kado kepulanganku, ya?" tanya Pandu ge-er.

"Ih, apa sih. Nggak usah ge-er deh, Om." kilah Nada. Pandu tertawa usil.

"Ternyata, selama ini, diam-diam kamu ngefans padaku." ucapnya lagi seraya tersenyum miring. Masih dengan kadar pede yang melampaui batas.

"Ih. Udah deh, nggak usah mellow gitu," kilah Nada. Ia berusaha menyingkirkan lukisan itu dari Pandu.

"Kenapa?" tanya Pandu.

"Nggak, aku... Malu aja," ucap Nada pelan. Pandu tertawa geli melihat tingkah lucu gadisnya.

"Aku suka kok sama lukisannya. Ini... Perfect. Bolehkah aku memilikinya?" tanya Pandu. Nada melambung tinggi mendengar pujian dari pria dingin yang kini senyum-senyum sediri melihat lukisan wajahnya.

"Umm... Boleh," ucap Nada.

Sama yang buat lukisannya juga boleh, batin Nada.

"Kalau gitu, sama yang buat lukisannya juga boleh?" tanya Pandu seolah bisa membaca pikiran Nada.

Nada tertegun. Mata indahnya membelalak lebar.

"Hah?!"

Disappeared Memory (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang