Bagian 40

6.7K 364 9
                                    

Duka menyelimuti RSAD di Pulau Sumba. Langit berkabut menyapa kegiatan kami di sore hari ini. Rasa sedih menghampiriku yang juga tengah berduka atas kepergian Kapten Edi, akibat kejadian penembakan malam itu. Peluru berhasil masuk menembus dadanya. Setelah penyerangan teroris yang terpaksa membuat aku dan timku terkepung di dalam pos, rekan kami yang berdatangan dari pos lain membantu kami membawa Kapten ke rumah sakit. Tapi, ternyata kami terlambat. Nyawanya tak bisa tertolong lagi.

Tangis yang menderu saling beradu di ruang gawat darurat yang ditempati almarhum. Istri Kapten menangis tersedu-sedu di atas jenazah. Sementara aku hanya bisa melihatnya dari jendela di luar karena tak ingin mengganggu mereka.

Tiba-tiba aku kepikiran dengan gadisku. Sedang apa dia sekarang? Apa dia baik-baik saja? Apa dia selalu mendoakan keselamatanku di sana? Ah, kuharap iya. Karena setelah peristiwa penembakan kemarin lusa, aku dan timku jadi semakin berhati-hati.

Kupandangi layar ponselku yang sedikit retak setelah teroris itu memporak-porandakan pos kami. Saat kejadian gawat tersebut, ponselku jatuh tanpa sengaja. Tapi ya sudahlah, yang penting masih bisa digunakan.

Kubuka layar pesan WhatsApp-ku. Kupandangi obrolanku dengan Nada malam itu, sebelum kejadian menegangkan itu terjadi.

Telepon nggak ya? Pikirku dalam hati. Maksud hatiku ingin bertanya kabarnya, dan memberiku kabar bahwa aku baik-baik saja disini.

Tiba-tiba aku mendengar kembali deru tangis istri seniorku yang makin menjadi-jadi. Ia sedikit mengamuk dengan hal yang terjadi pada suaminya. Kasihan sekali.

Ah, aku tak mungkin menelepon gadisku saat ini. Timing-nya sangat tidak tepat. Di sekelilingku banyak yang tengah berduka, termasuk diriku sendiri. Bahkan suasana rumah sakit saat ini tak sepi, melainkan penuh dengan tangis kesedihan.

Oke, ini benar-benar bukan waktu yang tepat. Kumasukkan kembali ponselku ke dalam saku seragamku.

Aku mengedarkan pandanganku ke seluruh sudut rumah sakit. Hingga mataku terhenti pada seseorang yang mengintip di jendela rumah sakit dengan pakaian tertutup yang menyembunyikan identitasnya. Ia menunduk dan wajahnya tertutup dengan topinya. Nampaknya hanya aku yang melihatnya disini, karena yang lainnya sedang sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri. Ada yang sedang berbincang dengan beberapa orang, ada yang sedang melamun, bahkan ada yang sedang menangis melihat kepergian Kapten.

Sekali lagi mataku mencoba menyelidik siapa gerangan orang mencurigakan itu. Hmm, sepertinya aku tak asing lagi dengan orang itu. Pria berjanggut tebal yang memakai banyak cincin batu akik di jari tangannya.

Dia tersenyum miring padaku. Sesaat kemudian, dia mendongak lalu memicingkan kedua matanya kepadaku. Ya! Tepat ke arahku.

Aku benar-benar mengenalinya. Pria itu adalah orang yang hampir mencelakaiku dulu. Pria yang menjadi dalang dari kelompok teroris yang sedang kuincar.

Baron!

Aku menggeram. Tanganku mengepal keras. Aku memicingkan mata sesaat setelah orang itu hilang dari pandanganku.

Kau lihat saja nanti, Baron. Kau akan mati di tanganku. Bisa-bisanya kau membuatku kehilangan masa laluku!

***

Nada POV

Hmm, hari yang indah untuk melukis. Aku berjalan ceria menuju taman komplek dengan membawa peralatan melukisku. Ada kanvas, kuas, cat air, dan lain sebagainya. Senyum terus merekah di wajahku ketika banyak orang yang menyapaku di jalan. Hari ini aku berjalan sendirian, tanpa dikawal oleh ajudan papaku. Ya, Kak Bayu kabarnya sedang menghadap komandannya di barak untuk urusan sesuatu. Entahlah. Apapun itu, aku tak peduli.

Disappeared Memory (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang