25. Untuk Ayah

21.8K 1.8K 211
                                    

Saat Ayah mulai memukuli aku dan mengacuhkan aku setelah kak Vino meninggal. Aku sadar, bahwa kesalah ku tak akan bisa termaafkan. Aku sadar bahwa meski aku berlutut dan memohon maaf pada Ayah semua itu tak akan berguna. Karena itu aku mulai menjauh, karena aku pikir itu adalah cara terbaik suapaya dapat maaf dari Ayah. Karena aku tau Ayah pasti muak melihat keberadaan aku di rumah. Tapi Ayah, aku juga anak Ayah... Meski aku sudah menyebapkan kak Vino meninggal. Aku tetap anak Ayah, aku tetap anak bunda, dan aku tetap adik kak Alvin. Aku juga bagian dari keluarga kalian. Apa tidak boleh kan sedikit saja aku di beri ampuna? Aku akan terima semua hukuman untuk menebus dosa yang aku lakuakn. Aku akan terima kalau memang Ayah tak dapat memafkan aku. Aku juga akan terima bila Ayah ingin memukuli aku. Aku akan terima semuanya. Asal kalian jangan pergi. Asal kalina jangan tinggalin aku sendirian di saini. Karena aku gak akan bisa bertahan bila semua pergi. Jadi aku mohon, jangan pergi tinggalin aku. Aku mohon Ayah...."

***** A n o t h e r

Alex berjalan menyusuri koridor rumah sakit dengan wajah lesu. Setelah perdebatan yang tak membuahkan hasil, akirnya Alex menyerah dengan sikap keras kepala anaknya. Sebenarnya dari awal dia sudah tau bahwa semua tidak akan berjalan lancar. Meski hal yang dia lakukan itu untun kebaikan Alvin sekali pun, tapi kalau Alvin menolak, Alex tak dapat melakukan apa-apa.

Kondisi Alvin semakin hari semakin memburuk, itu bukanlah hal sepele. Maka dari itu, Alex harus bergerak cepat supaya hal buruk yang selalu menghantuinya tak pernah terjadi. Namun kalau Alvin terus menolak, pria itu bisa apa? Memaksa pun bukanlah hal yang baik. Karena kondisi jantung Alvin yang sangat lemah membuat anak itu tidak boleh memiliki sedikit pun beban pikiran. Karena hal itu dapat membuat keadaan Alvin semakin buruk. Pria itu kembali menghela nafas lelah saat kembali mengingat bagaimana cara Alvin mengusir dirinya dari ruang rawat tadi. Padahal baru jam 8 malam tapi dia sudah di usir pulang. Ah, sungguh mengesalkan.

Rintikan air hujan merosot jatuh mengenai kemeja putih Alex. Sesaat pria itu terdiam di tempat sembari menegadakan kepalanya menatap langit. Langit malam ini tampak kelam, tak ada bintang maupun bulan, udaranya pun terasa lebih dingin dan sepertinya hujan lebat akan segera datang. Lalu dengan cepat, tanpa banyak berfikir lagi pria itu pun kembali melangkahkan kakinya.

Dia sangat membenci hujan, karena hujan selalu mengingatkan dia pada sosok Vino. Karena tragedi itu terjadi saat hujan datang. Namun langkah kaki itu kembali terhenti saat pria itu menemukan sosok seorang remaja yang sedang bersandar di pintu mobilnya. Dengan punggung yang bersandar di pintu mobil, tangan yang terlipat di dada, mata yang terpenjam, wajah yang terlihat letih, dan penampilan yang sedikit berantakan, sepertinya anak itu sudah menunggu cukup lama di sana. Namun untuk apa? Ini adalah hal yang jarang terjadi dan tentunya hal itu membuat Alex keheranan. Karena biasanya anak itu selalu menghindari sosok Alex.

Kevin terkejut saat membuka mata dan menemukan sosok Alex di hadapanya. Di tidak sadar akan kehadiran sang ayah. Sungguh. Mungkin ini efek dari rasa pening di kepalanya yang membuat dia tidak dapat fokus. Dan ini semua karena sikap keras kepalanya yang memaksakan diri kabur dari rumah sakit. Padahal kondisi tubuhnya masih belum stabil. Tapi dia nekat pergi dari rumah sakit. Dasar bocah bodoh.

Kepala Kevin langsung tertunduk dalam saat menemukan sosok ayahnya. Perasaan takut itu pun kembali menyerang. Meski dia sudah mengondisikan dirinya untuk dapat memberaniakn diri saat bertemu dengan sang ayah dan berbicara dengannya. Tapi tetap saja, saat sudah berada di hadapan ayahnya dia jadi kikuk dangan lidah yang terasa keluh. Karena trauma yang dibuat Alex di hati Kevin sudah sangat dalam dan meradang hingga sulit untuk di obati.

Alex menatap wajah anaknya sesaat. Pucat. Itulah yang dia dapat dan keheranan pun hinggap dalam dirinya. Apakah wajah anaknya selalu sepucat ini? Dia membatin. Dan jawabannya adalah tidak tau, karena jujur saja, selama ini dia tidak pernah memperhatikan Kevin. Jangankan memperhatikan, sekedar tegur sapa saat bertemu saja tidak pernah. Ya.. Karena Kevin adalah anak yang dia benci. Tapi, kalau di perhatikan baik-biak wajah pucat Kevin saat ini terlihat lebih pucat dari wajah Alvin tadi. Padahal yang sedang sakit itu Alvin. Apa Kevin juga sakit? Sebuah rasa kawatir muncul di benak Alex. Mulutnya ingin terbuka untuk menanyakan kondisi anaknya, namun kembali tertutup saat kebencian (ego) itu kembali datang. Dia kembali berusaha untuk mengabaikan anaknya. Meski hati kecilnya sedang meronta untuk tidak melakukan hal itu, namun egonya terlalu besar untuk dapat mendengar kata hatinya.

ANOTHER (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang