42. Akhir (part 1)

22.9K 1.6K 139
                                    

Di dalam ruanga itu, dia terbaring lemah tak berdaya. Dengan berbagai alat yang terpasang pada tubuhnya, dengan mata yang terpenjam rapat, dia terlihat begitu rapuh.

Untuk sebuah harapan yang terus coba dia gapai, untuk semua keceriaan palsu yang selalu dia tunjukan pada semua orang, untuk ketegaran yang terus dia pertahankan, dan untuk sebuah cinta yang selalu dia coba raih namun tak pernah bisa dia miliki. Kini semua itu lenyap tanpa jejak. Semua itu menghilang begitu saja bagai kunang-kunag yang kehabisa waktu hidupnya setelah dia bersinar. Semua benar-benar pergi. Ketegaran itu dan kekuatan itu telah menghilang. Karena kini sosok itu telah menyerah.

Menyerah atas hidupnya, menyerah atas harapanya, dan menyeraha atas cinta yang sampai kapanpun tak akan pernah bisa dia dapatkan. Hingga pada akhirnya dia pun lebih memilih terus memejamkan matanya dan membuat semua orang yang menyayanginya bersedih akibat keputusannya.

****

Dengan tubuh bergetar dan air mata yang terus mengalir Alex melangkah masuk ke dalam ruang ICU mendekati putra bungsunya. Biasanya sewaktu kecil bila Alex memasuki kamar rawat Kevin saat anak itu sedang sakit, Kevin kecil akan langsung bangun dan berlari ke arah Alex dengan tampang ceriahnya dan memeluk Alex kegirangan. Tapi saat ini. Tak ada sambutan ceriah itu, tak ada senyuman teduh itu, dan yang ada hanya suara Bed Side Monitor ( alat yang digunakan untuk memonitor vital sign pasien berupa detak jantung, nadi, tekanan darah, temperatur bentuk pulsa jantung secara terus menerus) yang terdengar begitu memilukan di telinga Alex. Yang ada hanya sosok rapuh Kevin yang tertidur damai di atas tempat tidur dengan berbagai alat yang terpasang pada tubuhnya. Sebuah pemandangan yang begitu mengerikan bagi seorang ayah. Sebuah pemandangan yang membuat Alex menyesal atas semua perbuatanya.

Dulu saat anak itu masih sehat, Alex hanya memukuli tubuhnya, menghadiahkan hujatan-hujatan kasar dan melukiskan memar biru di sekujur tubuh Kelvin. Meski Kevin menangis dan memohon ampun, Alex tak pernah peduli. Dia terus memukuli tubuh Kevin bahkan sampai zat merah kental di muntahkan oleh Kevin. Bukankah Alex begitu jahat? Seharusnya seorang ayah itu ada untuk melindungi putranya tapi, Alex malah membuat anaknya menjadi sekarat seperti ini.

Tarauma kepala yang Kevin alami itu semua karena Alex. Anak itu menahan sakit seorang diri dan itu karena Alex.

"Ayah, adek akan donorin jantung adek buat Kak Alvin. Tapi ayah harus kabulin satu permintaan adek. Ayah maafin adek ya.."

"Gak sekarang juga gak papa, abis oprasi juga gak papa. Yang panting ayah maafin adek dan gak benci lagi sama adek."

Kali ini langkah kaki Alex terhenti. Isakkan tangisnya pun semakin keras. Malam itu adalah malam Terakhir, malam terakhir dia berbicara dengan Kevin. Malam terakhir dia melihat senyum Kevin.

Kemudian sebuah bayangan Kevin kecil Tiba-tiba muncul di hadapan Alex dan menghentikan langkah Alex. Sosok Kevin kecil yang begitu Alex rindukan. Sosok Kevin kecil yang amat ceriah dan amat Alex sayangi.

Dengan senyuman cerahnya bayangan Kevin kecil itu berlari ke arah Alex. Menimbulkan sebuah rasa yang sudah sangat lama menghilang dari hati Alex. Sebuah rasa yang selalu Alex abaikan. Sebuah rasa yang saat ini terasa begitu menyakitkan.

"Ayaaahh..!! " Bayangan itu memanggil ayahnya ceriah kemudian menjatuhkan tubuhnya ke dalam pelukan bayangan Alex. Mengecup pipi Alex lembut lalu menunjukan wajah imutnya pada bayangan Alex.

" Kok ayah lama banget, sih datengnya? Adek kan udah kangen." Ucap Kevin kecil sembari mengerucutkan bibirnya membuat Alex gemas. Lalu anak itu menunjukan lengannya yang di plester kecil bermotif bintang.

"liat, Yah.. tadi adek di cuntik sama Bu Doktel. Sakit tau, Yah.." Adu bocah itu dan langsung mendapatkan elusan lembut di kepalanya dari Alex. Sesuatu yang sering Alex lakukan dan menjadi sesuatu yang disukai Kevin.

ANOTHER (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang