•TWENTY TWO•

4.5K 267 0
                                    

   Gengsi & Ego

💥💥💥

   Gita merasa ada yang menahan lengannya hingga ia tidak bisa melangkah lebih jauh lagi.

   "Apa?"bentaknya, lalu menyentak tangan itu. Bagian belakang sekolah ini sunyi membuatnya tidak perlu bersusah payah menjaga image.

   "Gue minta maaf."ucapnya, membuat Gita tertawa setengah percaya.

   "Segitu mudahnya?"

   Erigo berusaha membuat Gita menatapnya. "Gue nggak sadar kalau sudah kelewat batas."

   "Oh ya? Bukannya lo ngelakuin sesuatu yang menurut lo menyenangkan tanpa mikir perasaan orang lain?"

   Ya. Dia tahu kalau sifat egoisnya bisa tumbuh kapan saja.

   "Makanya gue minta maaf."lirih Erigo jenuh. "Akhir-akhir ini perasaan gue lega, terlepas dari semua masalah gue selama ini. Gue kira karena keisengan gue membuat semua itu."

   "Setelah gue pikir-pikir, ternyata ada lo yang akhir-akhir ini ada di dalam hidup gue."

   Raut wajah Gita berubah ketika melihat Erigo yang sekarang tersenyum sendu.

   "Lo bikin gue penasaran. Kenapa lo dijuluki Dewi Matematika ketika murid-murid yang lain malah membencinya? Kenapa lo sangat keras belajar padahal lo sudah mampu mendapat nilai sempurna hanya dengan belajar biasa? Kenapa lo terlihat seperti baja tetapi di mata gue terlihat seperti kapas?"

   Gita menatap Erigo dengan tatapan lemah.

   "Karena kehidupan kita berbeda, Go."ujar Gita dengan raut wajah yang tidak bisa terbaca. Tidak tersirat.

   Ia mengambil langkah menjauhi Erigo, sebelum semuanya keluar oleh mulutnya sendiri.

   "Lo tahu, Git? Sekeras apapun lo mikir keadaan lo yang paling buruk, ada sekitar sekian milyar manusia di dunia ini yang pengen ngerasaan jadi lo. Kenapa? Karena keadaan mereka yang lebih buruk dari lo."

   Sejenak, ia terdiam. Lalu berjalan lagi dengan mata yang berkaca-kaca.

   Karena lo nggak bersyukur, Git.

💥💥💥

   Gita ingin bertanya.

   Bagaimana caranya bersyukur ketika semuanya tidak bisa dikendali olehnya?

   Ia tetap melakukan kewajibannya sebagai muslim. Tetapi, kenapa semuanya masih tidak tercukupi hingga ia harus melakukan sesuatu diumurnya yang masih belasan ini?

   Gita tidak masalah tinggal di rumah sederhana yang terletak tidak jauh dari sekolahnya, kisaran lima menit dari sekolah. Rumah berwarna putih dengan halaman yang penuh rumput-rumput tinggi yang sudah lama tidak dipotong. Ditumbuhi sebatang pohon mangga membuat rumahnya seperti rumah kosong.

   Ia juga tidak masalah ketika setiap hari ia hanya makan ikan goreng dan sayur bening.

   Gita tidak mempermasalahkan dirinya.

   Namun, ia khawatir akan Leo.

   Adiknya itu masih duduk di kelas delapan sekolah menengah pertama. Di usianya, biasanya mereka bermain di rumah teman sebelum pulang ke rumah. Atau bermain PS di rental. Atau ketika akhir pekan janjian jalan-jalan di Mall.

   Karena keadaan mereka, Leo harus bekerja sebagai pelayan cafe dari pulang sekolah hingga pukul sepuluh malam.

   Tentu, Gita sudah menolak mentah-mentah ketika Leo meminta izinnya untuk bekerja tahun lalu. Alasan Gita hanya satu. Ia tidak mau membebani Leo dengan keadaan keuangan. Sebagai Kakak, sudah seharusnya ia membiarkan adiknya fokus ke pelajaran atau bermain bersama teman-teman.

   "Kakak tahu, gue nggak begitu pandai di pelajaran."jawabnya setelah Gita menolak. "Makanya biar gue aja yang cari uang buat sekolah kita. Pak Hernawan cuman ngasih beasiswa sama tunjangan rumah aja, kan? Itu semua buat Kakak. Gue nggak merasa kalau gue pantas buat dapat itu semua."

   "Gue janji, gue nggak akan di drop out dari sekolah. Gue bakal lulus SMA, terus jadi pengusaha dan beliin apapun yang Kakak mau."ucap Leo dengan kesungguhan hatinya.

   Terpaksa, Gita membolehkannya bekerja asal kalau Leo sudah lelah, ia harus berhenti bekerja.

   Gita melakukannya karena ia tidak ingin terus-terusan menghalangi kehendak Leo.

   "Makan Kak. Gue udah capek ngantri di Nasi Goreng Jaya buat dapetin dua bungkus doang."decih Leo ketika melihat Gita yang termenung di depan rezeki yang didapatnya hari ini.

   "Kenapa beli di luar? Gue masih bisa masak."balas Gita heran.

   Leo duduk dihadapan Gita dan membuka karet yang mengikat bungkus nasgor itu. "Gue baru gajian. Ya kali lo masak, Kak."

   "Dan... kenapa lo pulang cepet?"tanya Gita lagi ketika melihat jarum pendek di jam dinding masih menunjukkan angka tujuh.

   "Bos lagi berbaik hati."jawab Leo yang mulai melahap sesendok nasgor yang sudah menjadi makanan terenak mereka seumur hidup.

   Gita tidak bertanya lagi dan mulai memakan nasgor sedap itu.

   "Le."

   "Apa?"

   Gita mengaduk-aduk nasinya. "Kata Pak Hernawan, memang ada kepalsuan bukti."

   Leo yang tadinya hendak memakan satu suap, mengurungkannya. Melihat kedua matanya bisa kita lihat bahwa laki-laki itu terkejut.

   "Terus gimana?"suara Leo mendadak serak.

   "Katanya diselidiki ulang sama Detektif Roo."jawab Gita pelan. "Lo nggak kepikiran, Le, kalau semua ini aneh? Setelah tiga tahun... kenapa baru diketahui kalau bukti rekaman itu palsu?"

   Leo mengepal kedua tangannya dan memukul meja makan dengan pelan. "Gue udah curiga sejak sidang dulu. Kayaknya emang ada kaki tangan pelaku yang ikut bantu penyelidikan Detektif Roo, Kak."

   "Kenapa?"

   "Kalau yang ngeyelidiki itu Detektif Roo yang sudah dikenal hingga ke Eropa, pasti dalam sehari semuanya selesai."ujar Leo dengan manik mata serius. "Dia mungkin diterima jadi anak buah yang diutus Pak Hernawan karena kinerjanya baik. Dan setelah sampai di sana, dia ngebingungin Detektif Roo dengan bukti dan data penyeledikkan yang bisa dia bolak-balik sesuka hati."

   Kedua mata Gita membulat. "Itu berarti..."

   Leo mengangguk dengan yakin.

   "Kaki tangan ataupun pelaku itu memegang peran penting dalam penyelidikkan ini."

****

EnG's-01 : Elevator [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang