•NINE•

5.7K 314 6
                                    

            Get you

💥💥💥

Pengumuman siapa-siapa saja yang terpilih menjadi anggota OSIS yang baru, termasuk calon-calon ketua OSIS. Gita tersenyum ketika melihat namanya ada di sana dengan tiga calon lainnya.

   Tidak berlangsung lama, senyum itu luntur ketika melihat nama Erigo setelah namanya.

   "Keknya niat banget Kak Bani sama Kak Juna buat nemuin kita."celoteh cowok itu yang baru datang saja sudah mengomel.

   Gita keluar dari kerumunan—semakin banyak saja siswa-siswi yang mengerubungi mading—lalu berjalan gontai ke perpustakaan.

   "Mata lo minus? Kok nggak ngeliat gue daritadi."

   "...."

   "Atau telinga lo belum dikorek?"

    Astaga. Menyebalkan sekali.

   "Di mana cowok ganteng yang dicueki sama cewek hah?!"Erigo kesal.

   Gita berbalik, lalu telunjuknya mengarah ke Erigo, "mending lo diam."

   "Eh lo harus ganti rugi, ya,"Erigo tidak menyerah, "gue habis seratus ribu buat ngasih makan babon!"

   Gita masih mengacuhkannya.

   "Astaga, kayaknya gue harus bawa lo ke THT."gumam Erigo.

   "Siapa lo yang mau bawa-bawa gue, hah?"seru Gita galak.

   "Lo kan separuh hidup gue, Git,"Erigo mendadak dramatis.

   Ha, Gita tidak akan tertipu dua kali.

   "Denger ya,"Gita mengeluarkan apa saja yang pantas untuk laki-laki itu, "pertama, gue nggak tahu apa motif lo buat ngedeketin gue, terus—,"

   "Gue nggak ngedeketin lo, kok,"sela Erigo, "jangan-jangan lo baper? Cie cie..."

   Gita mendadak gugup, "nggak—."

   "Atau lo pengen terus dideketin gue?"lagi-lagi Erigo melontarkan seragangannya.

   Entah kenapa, semuanya membuat gadis itu semakin tidak bisa berkata-kata, "bodo ah."

   "Lo diam-diam menghanyutkan gitu, ye."Erigo terlihat bersemangat ketika Gita lari darinya dengan lari kecil-kecil-an. Di mata Erigo, terlihat menggemaskan.

   "Tungguin dong Neng!"

   Gadis itu sedikit menyesal karena ia terlalu lemah dalam hal-hal seperti ini. Lebih pentingnya, Erigo makin gencar menggodanya.

💥💥💥

   Mobilnya terparkir sempurna di halaman rumah berwarna putih dengan interior serba mewah. Setelah memastikan mobilnya terkunci, ia berjalan gontai masuk ke rumah itu, sedikit malas.

   Dan tumbennya, ada laki-laki itu di sana dengan setelan yang selalu dilihatnya. Jas hitam yang melapisi kemeja putih dengan dasi berwarna biru tua.

   Acuh tak acuh, ia melewatkan saja pria itu yang memicingkan mata kepadanya.

   "Kemana kamu semingguan ini, Tama?"

   Pria yang bernama Tama itu berhenti, menyunggingkan senyumnya dibalik punggung.

   "Buat apa anda tahu?"sergahnya, dingin.

   "Apa kamu mengunjungi Si Gila itu? Sudah kubilang untuk tidak mengusiknya lagi."ucapan laki-laki itu tidak kalah dingin.

   Kalimat itu sukses membuat Tama membalikkan badannya, berhadapan dengan laki-laki itu.

   "Wah, Si Gila itu bahkan pernah menjadi istri anda,"ucap Tama getir, "dan tentunya, anda yang membuatnya seperti itu."  

   Sebuah tamparan sukses mendarat di pipi kanan Tama.

   "Lagi-lagi, kartu kreditmu Papa blokir, Tama."

  Ancaman murahan itu membuat Tama terkekeh.

   "Aku tidak pernah mempermasalahkannya, kan?"balas Tama, berbalik, dan berjalan ke kamarnya.

   Di dalam sana, ia melempar tasnya ke lantai hingga mengeluarkan suara benturan. Berkali-kali ia meninju dinding hingga kepalan tangannya berdarah. Amarah benar-benar menguasai dirinya. Tidak ada setitik air matapun yang jatuh di pelupuk matanya.

   Tama hanya marah. Itu saja.

   Kenyataanlah penyebabnya.

   Dan ia masih berharap, semua yang terjadi hingga titik ini adalah mimpi yang semu.

💥💥💥

   Gita melonjorkan kakinya ke depan. Latihan keyboard selama sejam tanpa istirahat membuatnya harus merelakan kakinya kaku. Seketika atmosfer dingin mendarat di pipi kanan Gita. Ah, ternyata Kevin yang menyentuhkannya dengan sebotol mineral dingin.

   "Tengs Kak."

   Kevin duduk di sebelahnya ketika Gita meneguk air mineralnya hingga setengah. Haus.

   "Udah dari tahun kemarin gue ngajuin ke Waka Sarana dan Prasana buat masangin AC di ruang musik, tapi sampe sekarang nggak digubris,"ujar Kevin, "cuman ruang musik yang nggak ada AC. Kan nggak adil."

   "Nggak heran, Kak,"komentar Gita, "padahal, musik, kan sering nyumbangin piala juga."

   "Adel sama Gio lagi ke Mall, buat beli bahan-bahan untuk kelas."ucap Kevin merasa tidak enak.

   "Kakak udah ngomong itu empat kali."kekeh Gita yang bahkan tidak mempermasalahkannya. Justru inilah rezeki dadakan.

   Setelah itu sunyi. Gita menarikan arah matanya, berusaha tidak memfokuskannya ke satu titik yang sangat ingin dipandangnya itu. Tidak. Dia harus menetralkan perasaannya.

   "Jadi, udah mau bicarain masalah Erigo?"

   Gadis itu menghela nafas. Dia tahu Kevin memiliki rasa ingin tahu yang tinggi.

   "Waktu itu—,"

   Gita menceritakannya dari tes tulis Calon Ketua OSIS senin kemarin. Dari Erigo yang menyonteknya, lalu bertemu laki-laki itu di kantin, hingga kejadian fatal kemarin, mengakibatkan Bani dalam puncak emosi yang tinggi. Kevin tidak menyela, ia hanya mengangguk-angguk.

   "Gue nggak suka, Kak."lirih Gita mengakhiri ceritanya.

   Kevin berdehem dua kali, baru mengomentar, "Kan nanti kampanye tuh, Senin depan. Lo harus ngebuktiin kalau lo nggak sama kayak dia. Bagi gue, pembalasan dendam yang mujarab itu adalah menunjukkan bahwa kita lebih baik darinya."

   "Ya iyalah Kak, harus!"seru Gita dengan semangat membara.

   Gita tahu, perempuan sepertinya tidak akan menang secara fisik. Jadi, berkelahi atau adu mulut dengan laki-laki itu tentu tidak ada gunanya. Namun, Gita yakin, secara kecerdasan, ia bisa mengalahkan Erigo dan memenangkan taruhan yang bermula darinya.

   "Dari pertama kali gue ketemu lo, lo nggak pernah berubah, Git,"puji Kevin yang terdengar tulus, "lo selalu semangat di mata gue. Nyatanya, zaman sekarang banyak yang loyo dan selalu mengeluh di setiap apapun yang terjadi."

   Di sisi lain, Gita merasa malu karena Kevin terdengar memujinya. Dia tidak sehebat itu sampai-sampai seorang Kevin Januar mengeluarkan kata-kata mutiara untuknya. Di sisi sebelahnya, ia merasa sedih karena Kevin menganggapnya seperti itu.

   Gita tidak pernah sesemangat seperti yang Kevin bilang.

   Drrt...drrt...

   Gita menghela nafas begitu Kevin berbicara dengan seseorang di telepon. Dia sangat tahu siapa itu. Sudah berpuluh-puluh kali ia bersama Kevin. Itu itu saja penyebab pemisah pertemuan mereka.

   "Tere udah selesai dance. Duluan ya, Git."ucap Kevin yang tampak terburu-buru menggandeng tasnya dan sedikit berlari keluar ruangan.

   Hanya kalimat itu yang menjadi putusnya tiap kali pertemuan.

   Itulah sebabnya Gita pernah ingin menyerah untuk menggapai Kevin.

💥💥💥

EnG's-01 : Elevator [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang