• FOURTY FIVE •

3.7K 240 0
                                    

Important is nothing

💥💥💥

   Sudah dua jam Gita berkutat dengan buku di kamarnya. Merasa tenggorokannya tercekat, ia memilih menutup buku dan berjalan ke dapur. Setelah meneguk segelas air, ia ingin kembali ke kamar. Tetapi, ketika kedua matanya menangkap sosok Leo di sofa, ia memutar arahnya.

"Lo ngapain?"tanya Gita ketika Leo sedang asyik membaca beberapa kertas.

Leo menggeleng, tetap fokus.

Gita menghela napas, berniat meninggalkan Leo dan kembali belajar di kamarnya.

"Kak, kenapa kita harus merahasiakan semuanya?"

Suara serak Leo kembali menghentikan niat Gita. Ia memilih duduk dihadapan adiknya dan melihat kertas-kertas itu bercoret tidak jelas.

"Setiap teman gue nanya, gue nggak bisa jawab nama Ayah sama Ibu. Kenapa Pak Hernawan meminta kita merahasiakannya? Ayah kita bukan kriminal. Ayah kita adalah Chef Ares yang kehilangannya masih penuh rahasia."

Gita tidak tahu darimana ia harus menjelaskannya.

"Gue juga bingung, kenapa Ayah tidak pernah membicarakan kita di layar kaca?"

Raut wajah Leo menjadi pucat.

"Le, Ayah itu Chef, bukan artis yang kehidupannya harus terekspos."lirih Gita yang kembali memutar kenangannya. "Bayangin aja, pas lo nggak naik kelas waktu SD dan terekspos ke media. Memang, Ayah jadi malu—,"

"Jadi Ayah malu ngakuin kalau kita adalah anaknya sendiri?"gumam Leo, negatif.

Gita menggeleng. "Kalau gue jadi Ayah, gue nggak bakal mikirin diri gue sendiri, tapi gue mikir, gimana kalau anak gue kehilangan percaya diri? Gimana kalau sejagat negeri ini membencinya hanya karena anak seorang Chef yang terkenal itu tidak naik kelas? Bagaimana dia bisa jadi anak seorang Chef yang pintar itu?"

"Gue memang nggak tau, tapi,"Gita menelan ludah. "Kita harus sembunyi dan muncul ketika waktunya tepat, Le. Ketika semuanya terungkap, ayo, tunjukkan diri pada media."

Leo menunduk semakin dalam. "Maaf Kak, seharusnya gue berpikir dewasa."

Gita menggeleng seraya mengacak rambut adiknya itu. "Gue yang nggak pernah cerita pendapat gue sendiri."

"Tapi, Kak.."Leo memandang Kakaknya. "Ayah, kan banyak uang. Kenapa kita tidak tinggal di rumah lama kita? Kenapa kita harus tinggal di rumah lama nenek?"

"Karena, dulu, wartawan terus-menerus mendatangi rumah kita dan Pak Hernawan menyuruh kita pindah ke sini karena di sini aman. Masalah uang, Ayah berinvestasi ke sekolah gue dan tidak meninggalkan uang banyak."ujar Gita, membuat Leo memasang wajah bingung.

"Jadi sekolah lo..."

Gita mengangguk. "Tetapi, pemegang saham utamanya adalah Pak Hernawan. Kata Detektif Roo, kita tidak bisa ambil bagian karena tidak ada wasiat dan investasi Ayah tidak tertulis resmi. Tetapi, katanya, Pak Hernawan lagi mengurus surat-surat itu."

Leo menghela napas panjang. "Gue selalu mikirin ini semua, gue nggak ngerti. Sekejap saja, hidup gue jadi aneh dan misteri. Tapi, syukurah kalau lo ceritain semuanya."

Tentu saja Gita mengerti. Selama ini, ia selalu menyimpan semuanya sendiri. Gita hanya tidak ingin memberi beban lebih ke Leo. Sebagai Kakak dan keluarga satu-satunya yang dimiliki Leo, ia tidak mau membuat adiknya kesulitan.

"Kalau lo udah jenuh kerja—,"

Dengan cepat Leo menggeleng. "Nggak. Gue suka dunia kerja. Gue bukan kerja buat dapetin uang, tapi karena gue cari pengalaman."

Lagi-lagi, Gita kalah telak dengan adiknya.

"Kalau lo—."

Leo mengangkat tangannya, bersikap hormat. "Kalau gue udah jenuh, ya udah berhenti."

Gita senang melihat semangat Leo.

💥💥💥

Hari ini, Erigo kembali ke rumah orang tuanya. Ia hanya ingin mengambil beberapa barang dan menginap lagi di rumah yang tiga tahun ini sering ditempatinya, rumah seseorang. Erigo tidak tahu persis siapa pemilik rumah ini, namun yang pasti, ia bisa menempati rumah ini karena ia memegang kunci cadangan yang pernah dikasih seseorang, beberapa tahun yang lalu.

"Tama."

Erigo sedikit terkejut mendengar suara berat itu. Hampir saja ia berteriak.

"Apa?"seperti biasa, Erigo mendinginkan suaranya.

Lelaki itu duduk di sofa, dengan dua map merah di atas meja. "Menikahlah dengan Keyna."

Kalimat itu sukses membuat Erigo membulatkan kedua mata dan mulutnya terbuka sedikit. Tungg—tunggu. Menikah? Dia? Sekarang?

"Tanda tangani ini, surat pertunangan. Karena kalian masih SMA—,"

"Anda—,"Erigo tidak mampu berkata-kata. "Sekarang bukan zaman Siti Nurbaya. Kenapa harus jodoh-jodohan? Nggak. Saya nggak mau."

Pak Hernawan berdiri. "Tanda tangani saja dulu—,"

"Anda ingin membuka bisnis dengan Pak Cesar?"ucap Erigo tidak mengerti, tidak sepenuhnya mencerna kejadian barusan.

Dia tiba-tiba dijodohkan.

"Kamu—,"

"Saya tidak mau."

"Tama!"

Suara pria itu menggelegar, tetapi tidak membuat Erigo gentar.

"Lagipula, buat apa saya menurut?"ucap Erigo tajam. "Apakah kita masih ada hubungan setelah Mama tidak ada?"

Ketika Erigo hendak membuka pintu, ia mendengar pria itu berbisik.

"Kamu tidak pernah mau mendengarkan."

Erigo menyunggingkan senyumnya. Benar, ia tidak mau mendengarkan.

Karena tidak ada yang penting untuk didengarkan.

💥💥💥

EnG's-01 : Elevator [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang