• THIRTY TWO •

4K 252 4
                                    

            Sebuah alasan

💥💥💥

Erigo tidak henti-hentinya tertawa. Ari dan Sam yang niatnya bermain monopoli, malah uring-uringan di atas kasur seraya menonton sobatnya dengan ratapan keprihatinan.

   Ari tidak tahan lagi. "Segitunya suka sama tuh orang, Go?"

   Perlahan tawa Erigo lenyap. Tergantikan dengan wajah bingung.

   "Siapa?"

   Sam yang juga geram, merubah posisinya menjadi duduk, menghadap Erigo. "Terus lo ketawa kekgitu ngeliat foto ente berdua kekbegitu benci? Ha, bahlulmu."

   "Paan..."Erigo jadi salah tingkah dan kembali melihat gambar yang membuatnya tertawa lima menit terakhir ini. Sejak foto itu dikirim Gading ke grup line, ia bahkan tidak sadar kalau sudah menjadi tontonan sahabat-sahabatnya.

   "Kita kita, mah udah capek nunggu lo jujur sama diri lo sendiri."ucap Sam, sudah kayak yang digantungin aja.

   "Masalahnya emang gue nggak suka sama Gita. Udah ah."ujar Erigo, menyenderkan punggungnya ke kursi.

   "Gita nggak masuk tiga hari aja lo udah sampai ke rumah dia—,"

   Komentar Ari dipotong oleh Erigo. "Karena dia wakil, gue ketua. Karena acara kemarin."

   Sam menyela. "Ya udah, Ri, kita tunggu aja dia datang ke sini kalau kontrak dia sama Gita kelar. Paling nyesel, tuh bocah."

   "Serah lo."Erigo menyerah.

   Sam melirik Ari, namun laki-laki itu menaikkan bahunya.

   "Apa yang bakal lo lakuin tiga hari lagi? Perjanjian kalian sudah selesai."akhirnya, pertanyaan itu keluar dari mulut Sam setelah konflik batin dengan Ari.

   Erigo memasang wajah berpikir. "Entahlah. Mungkin, gue ngeganggu Sari lagi?"

   "Mungkin banget gitu ya..."gumam Sam, lalu meraih handphonenya.

   Ting!

   Sebuah pesan mendarat dihandphone Erigo. Lelaki itu berdecih, lalu mengambil kunci motor, dan bergegas keluar.

💥💥💥

   "Anda mau apa lagi?"

   Pria yang dihadapannya ini melempar sebuah berkas ke atas meja. "Tanda tangan."

   Erigo menatap berkas itu dengan tatapan bingung.

   "Tanda tangani berkas ini. Sekarang juga."

   "Saya nggak pernah akan mau menandatangani apapun."

   Erigo ingin beranjak, tetapi suara bariton menahannya.

   "Buat apa kamu masih memikirkan dia?"amarah pria itu meledak. "Biarkan Si Gila itu dengan Bajingan itu pergi menjauh dari kehidupan kita. Kau masih terjebak dalam keluarga itu?"

   Erigo mengepalkan tangannya. "Anda—,"

   "Mereka tidak ada hubungan darah denganmu, Tama."suara itu merendah. "Buat apa—,"

   "Buat apa kata anda?"Erigo menatap lelaki itu. "Karena anda! Kesalahan anda karena menikahi Mama setelah tiga bulan Mama Endang meninggal. Kesalahan anda karena jatuh cinta dengan yang anda bilang gila!"

   "Anda tahu..."pandangan Erigo sedikit kabur. "Kalau saja anda melindungi Kelvin seperti anda melindungi saya, tidak ada kegilaan di keluarga ini. Tidak ada Kelvin yang dipenjara! Tidak ada Mama di pusat kejiwaan!"

   Plak.

   Lagi-lagi tamparan.

   "Tau apa kamu tentang dunia yang Papa tempatin?"

💥💥💥

   Angin sepoi-sepoi di atas atap membuat Erigo membiarkannya menerpa wajah. Hari ini sinar matahari tertutup oleh awan. Ia membiarkan handphonenya bordering. Ia tidak memikirkan berapa jam pelajaran yang ia lewati.

   Erigo hanya ingin tetap di sini. Bersama dengan dirinya sendiri.

   Tentu, ia tahu kalau Mama kandungnya sudah meninggal ketika ia masih kecil. Tetapi, wajar ia membenci Mama tirinya? Wajar ia membiarkan Mama tirinya kesepian di ruangan itu?

   Ia bahkan sadar, Mama tirinya selalu mementingkan kepentingan Kelvin, yang merupakan anak kandungnya. Kelvin, dua tahun lebih tua dari Erigo. Bukan berarti Erigo dibenci. Hanya saja, perbedaan itu terlihat jelas.

   Tetapi, bukan berarti Erigo merasa asing.

   Ia merasa bersyukur karena Mama tirinya membawa Kelvin ke rumah. Menjadi saudara sekaligus teman bermainnya. Kelvin yang mengajarinya melompat dan bermain bola. Kelvin yang mengajarkannya berenang dengan kaki seperti katak.

   Kelvin yang membuat hidupnya menjadi berwarna.

   "Kesambet entar."

   Erigo menoleh dan mendapati Gita yang sudah duduk di sebelahnya. "Ngapain?"

   "Ya, nggak ada. Memang ini gedung punya lo?"

   "Kalau memang punya gue, gimana?"pancing Erigo.

   Gita mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya. "Amiin deh, Ya Allah."

   Tentu saja gadis itu tidak percaya.

   "Eh btw, besok kontrak gue habis, kan?"

   Nada suara itu terdengar senang.

   Erigo memandang lurus ke depan, mengangguk. "Senang?"

   "Pastilah!"

   Ya. Gadis itu pasti sangat senang karena sudah terlepas dari suruh-menyuruh Erigo. Saking senangnya, daritadi malam, Gita senyam-senyum terus.

   "Gue nggak."

   Kening Gita berkerut ketika Erigo mengatakannya tanpa memandang ke arahnya.

   Laki-laki itu menoleh, menatapnya.

   "Alasan apa lagi yang bisa buat lo nemuin gue?"

   Jantung dari salah satu keduanya, berdegup kencang.

💥💥💥

EnG's-01 : Elevator [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang