• FOURTY EIGHT •

3.6K 240 0
                                    

Try to your heart

💥💥💥

   Sinar matahari hari ini lumayan terik, tetapi angin membuatnya tidak terasa panas. Gadis itu bersender di dinding dan berhadapan dengan matahari, membuat kedua matanya sontak mengecil. Entah kenapa, sekarang, ia hanya ingin sendiri. Ditemani dengan angin.

Dia tahu, cepat atau lambat, penyiksaan ini akan segera berakhir. Mereka hanya berada di tahap bonus, yang merupakan tahap aman sebelum dimulainya puncak penyelesaian. Separuh dirinya senang karena semuanya akan usai. Di dirinya lain sedikit sedih karena meninggalkan masa-masa sedih itu, yang membuatnya lebih tegar dan hidup.

Suara derap kaki membuatnya mengalihkan pandangan ke arah pintu. Laki-laki yang mengenakan sepatu kets berwarna abu-abu itu membuat kedua matanya membulat, lantas ia berdiri tegap dan hendak pergi.

"Git."

Suara yang selama ini hangat, malah berubah menjadi dingin. Kedua kakinya seakan-akan diikat oleh beban, membuatnya sulit bergerak.

Laki-laki itu mendekat, membuat Gita berusaha menetralkan napasnya.

"Gue.. ad—,"

"Kalau lo pergi, gue bakal tanda tangan di surat itu."

Melihat gadis itu membeku, membuatnya mengerti kalau Gita pun tahu akan hal itu.

"Sebenarnya, hubungan lo sama bokap gue apa?"

Tunggu, kenapa menyangkut Pak Hernawan?

"Sadar atau enggak, lo belum terbuka sama gue, Git."ucap Erigo dengan sendu. Ia maju selangkah lagi, sehingga hanya berjarak tiga langkah untuk mencapai Gita.

"Beasiswa... kenapa Pak Hernawan memberinya begitu saja? Ada sekitar seratus orang lebih yang lebih pintar dari lo... kenapa lo? Kenapa dari sekian penerima beasiswa, alasan untuk seorang Brigitta Novera tidak dipahami? Apa karena dia menerima kebijakan yayasan yang terkenal dengan ketidakadilannya?"

Gita menunduk, mengaitkan kedua jarinya, enggan menatap Erigo.

"Dan kenapa lo ngejauhin gue? Apa karena Keyna? Mungkin lo udah tahu dari bokap gue masalah kontrak dan perjodohan. Jadi, karena apa?"

Pertanyaan bertubi-tubi itu membuat hati Gita sedikit tertusuk. Rasanya, ia ingin menjawab, tetapi tidak ada jawaban. Ingin menanggapi, tetapi tidak tahu apa yang akan ditanggapi.

"Kita ini apa?"

Suara rendah itu membuat Erigo merubah raut wajahnya.

Gita mengangkat kepalanya. "Siapa lo yang harus gue kasih tahu? Siapa lo yang harus tau gue segalanya? Kita ini cuman dipertemukan secara nggak sengaja. Lo dan gue cuman figuran dalam kehidupan masing-masing."

Erigo tertawa, menyedihkan.

"Lantas, perasaan gue apa bagi lo?"

Gita tahu, ia melukai hati Erigo.

"Mungkin, bagi lo yang pernah suka sama seseorang, mudah buat sadar. Tapi, bagi gue yang pertama kali, nggak sesederhana itu. Ibarat telur ayam, saat semua sudah siap, cangkang itu retak dan hadirlah anak ayam. Sama kayak perasaan, bagaimana mau siap kalau tidak ada perkembangan? Bagaimana gue tahu kalau gue suka sama lo?"

Gita menyunggingkan senyum. "Apa bedanya kalau lo suka sama gue sama lo yang sekarang?"

Dia harus bertahan, seperti biasanya.

Hening. Baik Erigo tidak menjawab. Sedangkan Gita mulai menyesali kalimat pedasnya itu.

Seperti hati yang menunggu untuk disempurnakan, kita akan menanti hati yang akan menyempurnakannya. Seperti perasaan yang terus membesar tanpa disadari, akan menghilang seiring berjalannya waktu.

"Gue yang suka sama lo nggak akan maksa lo buat jatuh cinta sama gue. Biar gue aja yang terus suka sama lo. Nggak selamanya cinta sepihak itu sakit, kok."

Matahari dan langit menjadi saksi hari ini. Saksi ketika hati Gita mengatakan kalau ia berdebar untuk siapa.

💥💥💥

"Saya tidak gampang terkejut."

Helaan napas berhembus kencang. Pak Reza berkali-kali menetralkan arus pernapasannya. Anak laki-laki yang dihadapannya ini tidak akan menyerah, seperti biasanya.

"Pak Hernawan mengenal Gita secara pribadi. Ketika dua atau tiga hari sebelum pengumuman beasiswa, Pak Hernawan memberikan saya sebuah berkas dan berkata kalau hanya berkas itu yang lolos seleksi."cerita Pak Reza. "Tidak biasanya—bukan, baru kali itu beliau ikut campur dengan beasiswa. Biasanya, ketika saya memberikan semua berkas kepadanya, beliau hanya bilang, ia akan menyetujui keputusan saya dan Pak Cesar. Tapi, kali itu, ia meminta saya meluluskan berkas itu, ya, berkas Gita."

"Melihat berkasnya, kebingungan saya bertambah. Nilai anak itu biasa saja, dalam artian di antara pendaftar, nilainya termasuk sedang. Ketika saya hendak bertanya, Pak Hernawan bilang kalau ia menggunakan haknya sebagai ketua yayasan."

Raut wajah Erigo berubah, ikut bingung.

"Ketika saya menelusuri lebih jauh, ah, sepertinya masalah ekonomi. Mungkin saja, Pak Hernawan memberikannya karena kasihan atau hutang budi."ujar Pak Reza.

Erigo menggeleng. "Gita bukan orang yang mudah dikasihani."

Pak Reza mengedahkan bahunya. "Siapa tahu?"

Ya. Tidak ada yang tahu.

"Kemungkinan yang lainnya adalah ada sesuatu di antara Pak Hernawan dan Gita. Sesuatu yang tidak terlihat, namun terjalin."

Erigo merasa menyesal mendesak Pak Reza untuk menceritakannya. Seharusnya, ia membiarkan saja semua itu.

Karena ia takut, hatinya akan goyah kembali.

💥💥💥

EnG's-01 : Elevator [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang