• EPILOG •

7.2K 276 9
                                    

Belajar Menunggu.

💥💥💥

   "Bisa nggak, sih nggak usah ngeliatin gue begitu?!"

Mereka berdua tengah berada di sebuah coffeshop dekat apartemen mereka. Gita merasa risih karena laki-laki itu melihatinya dengan dagu yang ditopang oleh kedua telapak tangannya.

Dia mengerti, Erigo merindukannya dan ingin melihatnya selama mungkin.

Tapi, kan mulai sekarang, mereka akan sering bertemu.

"Tampar gue, Git."

Plak.

"Woi!"

Sebagian besar orang-orang yang berada di sana sontak membuat meja mereka menjadi pusat perhatian.

"Lo memang suka malu-maluin, ya."bisik Gita yang tengah menundukkan kepalanya.

Erigo ikut-ikutan menunduk. "Kebesaran, ya?"

"Banget!"

Laki-laki itu malah terkekeh ketika Gita melampiaskan kekesalannya.

"Memang ada yang lucu?"seru Gita, heran.

Erigo semakin membuatnya geram.

"Tetep aja, muka marah lo yang paling cantik."

Blushh...

Secepatnya Gita langsung mengelak. "Anjir, lo nggak pernah berubah, ya. 2025 woi!"

Sementara Erigo, ia juga tidak tahu mengapa ia seperti ini. Delapan tahun belakangan, ia bukanlah orang yang sama dengan Erigo sebelum delapan tahun itu. Tetapi, bertemu dengan Gita, membuatnya merasa kembali menjadi dirinya sendiri.

Gita menyesap vanilla latte miliknya, lalu mulai memainkan ipad dihadapannya. Semakin lama, Erigo malah semakin merasa dikacangin. Ia mendengus, lalu meminum americanonya dan menatap gadis itu dengan memelas.

"Setelah delapan tahun, lo ngacangin gue?"seru Erigo tidak percaya.

Tanpa lepas dari ipad, Gita hanya bergumam.

"Lo nangis?"

Gadis itu dengan sigap mendongakkan kepalanya. "Gue mau ke toilet."

Erigo merasa terheran-heran melihat sikap Gita barusan. Seketika ia penasaran dengan apa yang ada di ipad gadis itu. Tangan kanannya memutar 180 derajat ipad itu agar berhadapan dengannya.

Kev : That's hurt. But, you must meet and talk about it. I'm okay. Don't sleep late.

Seketika pembuluh darah Erigo mengeras. Ia membaca kalimat itu berulang kali hingga ia merasa bahwa pesan itu nyata. Kedua kakinya lemas dan kepalanya menjadi berdenyut.

Ada apa ini?

Erigo merasa ia terlambat.

"Go."

Perlahan Erigo menoleh ke Gita yang berdiri mematung tidak jauh dari tempat ia duduk. Erigo mengusap kedua matanya dan mengembalikan ipad Gita ke tempat biasanya.

"Ah, sori, kalau gue lancang."sahut Erigo, berusaha tersenyum.

Tapi, gadis itu tahu, ini bukanlah waktu untuk menunjukkan hal itu.

"Duduklah."

Gadis itu menurutinya.

Erigo menegapkan tubuhnya, bersiap-siap. Ia baru merasa kalau hanya dia yang bercerita sedari tadi. Gadis itu yang mengajaknya berbincang dan ia rasa memang ada yang ingin diberitahu olehnya.

"Jadi, apa cerita lo?"

"Semuanya nggak seperti yang lo pikir, Go."ucap Gita dengan cepat.

Erigo tersenyum, mengangguk. "Sekarang, gue akan percaya dengan apa yang lo bilang."

Sebenarnya, Erigo enggan berbicara seperti itu. Sama saja ia merelakan Gita begitu mudah. Namun ia tidak ingin egois seperti dulu.

Walaupun ia sangat ingin egois untuk sekarang.

"Ada banyak hal yang harus gue lakuin sekarang."lirih Gita, menatap Erigo dengan yakin. "Dan gue nggak bisa jelasin satu persatu. Di sini, gue detektif yang banyak melakukan hal-hal aneh. Dan Kev itu, salah satunya."

Erigo mendengarkannya dengan lamat-lamat.

"Gue tahu, susah buat lo untuk nunggu gue sampai urusan ini selesai."lirih Gita sesak. "Gue juga nggak mau ngegantungin lo tanpa alasan, seperti dulu, ketika gue tahu lo suka sama gue dan gue malah pergi di saat-saat lo terpuruk."

"Jangan—."

"Gue bakal nunggu lo."

Gita mengerjapkan kedua matanya. "Apa?"

Erigo tersenyum, mendekatkan wajahnya ke Gita.

"Asal lo juga suka sama gue, gue bakal nunggu lo siap. Sampai kapanpun itu."

Perlahan senyum Gita mengembang.

"Beneran?"

Erigo mengangguk. "Jadi, kita bisa saling menunggu."

"Makasih, Go, udah ngasih gue kesempatan."ucap Gita, setulus mungkin.

"Gue yang makasih sama lo, Git, karena udah mempersilahkan fajar ini bersama dengan malam."

Gita tertawa. "Lo masih ingat tentang fajar dan malam?"

"Gue nggak akan pernah lupa."

Mereka semua saling tersenyum. Pukul tiga dini hari di sebuah coffeshop, perjalanan mereka yang sesungguhnya baru saja dimulai. Tentang mereka yang saling menunggu dan mendukung. Tentang mereka yang tahu pahitnya akan kenyataan. Tentang mereka yang berusaha bertahan di tengah badai menerjang.

Seperti itulah cerita tentang fajar dan malam. Malam yang menjadi pagi karena ada fajar. Lalu pagi itu berjuang keras menuju siang untuk mendapatkan matahari yang lebih terik. Tetapi, ketika ia sampai di sana, ia malah merindukan fajar. Lalu ia berjalan ke sore dan menemui senja. Akan tetapi, senja tidak sedamai fajar-nya.

Akhirnya ia memutuskan menjadi malam, agar ia bisa menemui subuh dan bertemu fajar.

Sedangkan fajar, tetap setia menunggu di sana untuk malam.

Kapanpun malam ingin bertemu, ia selalu siap.

Karena malam adalah hal yang terbaik untuk fajar.

••• CONTINUED •••

EnG's-01 : Elevator [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang