•TWENTY FOUR•

4.2K 277 0
                                    

Shy

💥💥💥

   Mereka berdua bersender di pembatas balkon atap. Angin sepoi-sepoi membuat suasana di sini tentram dan nyaman. Sudah setengah jam, tidak ada lagi suara di antara mereka.

   Namun, Erigo tetap setia menunggu Gita lebih baik.

   Erigo bahkan masih tidak mengerti kenapa akhir-akhir ini ia terus-terusan bersama Gita. Ada suatu ketika dimana ia hanya ingin ke kelas Sam dan melihat Gita dan Moli ingin ke kantin. Erigo langsung mengurungkan niatnya dan menghampiri mereka dan tersenyum melihat Gita yang selalu bilang kata-kata ini kalau melihat dia.

   "Lo lagi lo lagi."

   Entah kenapa, kata-kata itu membuat Erigo ingin bertemu Gita lagi dan lagi.

   Awalnya, Erigo sedikit tersinggung dengan kata-kata jutek yang keluar dari mulut gadis itu. Pandangan pertamanya adalah yang namanya perempuan, tutur katanya itu harus halus dan lembut seperti Mamanya. Dia sangat suka melihat perempuan yang tenang seperti itu.

   Bukan seperti yang kalau ngomong kayak ngajak berperang.

   Dulunya, Erigo hanya ingin memastikan kalau Gita itu PMS atau tidak. Serius. Erigo terlalu penasaran kalau berkaitan dengan hal-hal itu. Ia ingin kalau PMS gadis itu sudah selesai, ia akan meminta maaf ke Gita dan dengan tenang Gita akan memaafkannya dengan damai.

   Akan tetapi, lambat laun Erigo sadar kalau Gita memang orang yang seperti itu.

   Seharusnya, Erigo diam saja jika Gita terlihat di matanya. Mereka hanya bertemu ketika tes Ketua OSIS yang diadakan dua setengah minggu yang lalu. Itu hanyalah waktu yang singkat untuk berkenalan.

   Oh iya, Erigo lupa satu hal.

   Ia dan Gita masih terikat oleh taruhan waktu itu.

   Dan karena alasan itu, Erigo bisa berada di dekat Gita untuk waktu yang sedikit lebih lama dari pertemuan mereka sebelumnya.

   "Jangan ngeliat gue nangis lagi."ucap Gita dengan suara parau sehabis menangis.

   Erigo menatap ke arah depan. "Kalau gitu, lo nggak boleh nangis, Git."

   Gita tertawa dengan serak. "Memang ada orang yang nggak nangis?"

   Erigo tersenyum. "Kalau gitu, lo harus nangis di depan gue. Cuman di depan gue."

   Biasanya Gita akan membalas dengan ketus. Entah mengapa kali ini ia merasakan ketulusan Erigo.

   "Makasih, Go."Gita tulus mengucapkannya.

   "Lain kali jangan bilang makasih. Gue tahu, bagi lo kata itu berat banget kalau diucapin ke gue."Erigo bercanda sedikit.

   "Masalah beasiswa itu—,"

   Erigo menengahi. "Kalau lo nggak mau ngebahas, nggak usah dibahas. Gue juga mudah lupa."

   Gita menyenderkan kepalanya.

   "Tapi, mengenai beasiswa, nggak harus malu. Bagi gue, lo pantas buat dapetin itu. Lo pintar, kok."ujar Erigo pelan. "Di depan gue, nggak usah malu. Jujurnya, gue iri. Seharusnya juga gue nggak sekolah di sini dengan mudah di saat ada orang yang mati-matian buat dapetin beasiswa."

   Lagi-lagi, makna tersirat dari ucapan Erigo adalah bersyukur.

   "Terus, gue nggak ada maksud apa-apa, kok deket-deket sama lo."seru Erigo yang langsung menatap kedua mata Gita dengan wajah polosnya. "Serius, ngapain gue ada maksud yang lo bilangin tadi? Jahat amat."

   "Lo kira lo nggak jahat sama gue selama ini?"tanya Gita dengan sedikit sindiran.

   Erigo berdecih. "Lo kira selama ini lo selalu baik sama gue?"

   Lalu mereka berdua tertawa. Tertawa ketika mengingat kalau selama ini mereka selalu melontarkan kata perkata yang tidak disaring. Hati mereka berdua sakit, tetapi entah kenapa mereka terus-menerus bertemu dan berbicara seperti biasa.

   Terlalu aneh.

   "Gue masih punya waktu seminggu setengah lagi loh."kode Erigo akhirnya.

   Wajah Gita berlipat. "Apa lagi?"

   "Temenin gue muter-muter Jakarta!"

💥💥💥

EnG's-01 : Elevator [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang