•SIX•

5.8K 337 9
                                    

Git, Kev, and they promise.

💥💥💥

Gita menunduk sedalam-dalamnya. Amarah Bani menghiasi atmosfer ruang OSIS yang kabarnya adalah ruangan ter-pewe di SMA Taruna Bangsa.

"Kalian ini mau jadi bahan tontonan, ya?"teriaknya kesal, "baru aja masuk wawancara, udah songongnya naudzubillah."

Juna berusaha meredakan amarah Bani.

"Lo, Gita, kenapa tiba-tiba menuduh Erigo menyontek dari kemarin?"kali ini, amarahnya tertuju ke siswi di hadapannya, "apa lo waktu SD diajarin fitnah orang?"

Sebelum Gita sempat membantah, nyalang mata Bani beralih ke sebelahnya.

"Dan lo, Erigo, kalau nggak mau difitnah, jangan suka nyagilin dia. Lo kira gue nggak tau kalau lo sering gangguin Gita di koridor?"

"Intinya,"ucap Juna ketika Bani mengurut-ngurut kepala, "kalian nggak bisa ngikutin tahap-tahap selanjutnya kalau kalian aja nggak akur. Andaikan kalian nantinya Ketos dan Waketos, bagaimana sistem acara nanti? Kalian sama-sama keras kepala dan tidak ada yang bisa diandalkan."

Erigo acuh tak acuh. Sama saja dia bilang, ya udah baikan aja. Susah amat idup lo.

"Saya nggak akan marah kalau dia dari kemarin-kemarin nggak plagiat omongan saya,"jelas Gita, "saya nggak suka diikutin. Sama aja dia nyalin apa yang ada di otak saya, sedangkan saya sampai keringat darah buat ngisinya."

"Kalau gitu, lo nggak bisa jadi Ketos,"gumam Bani, dingin, "lo kira gue sama Juna punya sikap-sikap egois kayak begitu?"

Gita diam, menunduk lagi.

"Gue sekarang tahu kenapa Ketos nggak ada yang cewek."

Karena cewek selalu menggunakan perasaan dalam setiap kegiatannya.

Sama saja Bani merendahkan dirinya.

Gita berdiri, menatap nyalang ke arah Bani. Penyinggungan akan hal ini sudah menyangkut harga dirinya.

"Bagi Kakak cewek itu lemah, nggak tahan banting, dan mementingkan emosional?"balas Gita tidak kalah dingin, bahkan lebih dingin.

"Terserah kakak mau digimanain,"sambungnya, "saya akan tetap ke puncak, walaupun harus merangkak."

Bani menggebrak meja ketika Gita keluar dari ruangan tanpa sepatahkatapun.

"Lagi-lagi, emosi lo nggak bisa terkendali."ucap Juna, ikut-ikutan keluar dari ruangan, mencari perempuan itu. Lagipula, bagi Juna, bukan Gita yang sepenuhnya salah. Bisa saja laki-laki itu memang menyontek dan menyinggung perasaannya. Atau Bani yang menambah masalah ini menjadi semakin runyam.

Bunyi benturan membuat langkah Juna terhenti, berbalik, lalu berbelok ke kanan, ke balkon ruang musik. Feelingnya bilang ada seseorang di sana. Tepat sekali. Ia melihat gadis itu duduk di lantai dan menjulurkan kakinya ke bawah. Batu di pot tanaman dilemparkannya ke bawah, tepatnya di kolam yang tidak ada ikannya.

"Jadi lo yang suka buat batu-batu di sini ilang-ilangan?"

Gadis itu menoleh. Namun, ia kembali mengacuhkan.

Juna tahu spesies cewek seperti ini, "lo kabur-kaburan nggak akan nyelesain masalah."

Gita tetap diam.

"Saling minta maaf dan urusan kelar,"kali ini, Juna berusaha melembut, "sayang banget kalau lo langsung didiskualifikasi. Jawaban tes lo kemarin bagus-bagus."

Selang beberapa detik, tidak ada suara yang keluar dari mulut Gita.

"Loh, Jun? Ngapain di sini?"

Juna mengedahkan kepalanya, berpaling dari Gita yang menundukkan kepalanya, menatap lantai.

"Ini Vin. Gue harus bawa nih anak ke Bani, lagi berantem."

Sekarang, Gita penasaran Juna berbicara dengan siapa.

"Bani sama dia?"

"Nggak. Sepantaran dia-lah."

"Tungg—lo Gita, kan?"

Gita mengangguk lemas, tanpa melihat ke yang berbicara.

"Duluan aja, Jun. Ntar Gita nyusul."ucapnya pelan.

Setelah memastikan Juna meninggalkannya, Gita mendongakkan kepalanya dan melihat sosok itu sedang berjongkok di depannya, tersenyum.

"Ngambek?"

Gita membelalakkan matanya, "Loh—Kak Kevin?"

Kevin melihat ke arah adik kelasnya itu, "jadi lo nggak hafal suara gue?"

Jangan tanya-lah. Gita belum mengorek telinganya sebulan terakhir. Ia malu mengakuinya.

"Anu—,"

"Baru aja gue keluar, mau nyari lo,"ucap Kevin, "abis, gue udah nelfon lo, nggak diangkat."

Ah, handphone Gita ada di tas yang saat ini berada di punggungnya.

"Sori kak, tadi ada sedikit insiden."sesal Gita. Alasan tersebut separuh benar.

Dan separuhnya lagi adalah Gita lupa kalau dia sudah janji ada latihan musik.

"Nggak pa-pa,"balas Kevin sumringah, "coba Gita temui Bani baik-baik, minta maaf sama teman Gita yang tadi berantem. Gue tau, lo pengen banget jadi Ketos. Jangan sampai cuman gara-gara ini mimpi lo hancur."

Perlahan, Gita menggelengkan kepalanya. Itu bukan gayanya.

"Percaya sama gue, Git."

Empat kata itu mulai membimbangkan hati Gita. Ia tidak ingin Kevin ikut campur dalam masalah ini. Namun, kenapa ia harus minta maaf kalau dia tidak salah?

Menyebalkan.

"Setelah itu, lo boleh cerita tentang masalahnya. Manatau gue bisa bantu."

Gita menghela nafas, "beneran Kak?"

Melihat anggukan pasti dari Kevin, Gita beranjak, dan memantapkan langkahnya kembali ke ruang OSIS.

Satu-satunya cara agar Kevin menepati janji dan membuat jarak diantara mereka terpangkas perlahan.

💥💥💥

EnG's-01 : Elevator [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang