• THIRTY THREE •

4K 241 2
                                    

Maybe?

💥💥💥

   Erigo memegang dadanya. Kedua matanya mengedip beberapa kali, memastikan.

"Masih."

Sam yang sedang menggigit cokelat batangan, menahannya. "Ente napa?"

Saat ini mereka berada di rumah Ari karena Mama Ari mengundang mereka makan siang dan malam di rumah mereka. Kata Ari, sih Mamanya pengen aja ngeramein suasana rumah. Kalau ada Sam dan Erigo, rasanya rumah ini makin hidup.

Erigo tahu maksudnya ketika ketiga kalinya Ari mengajak mereka main ke rumahnya. Rumah itu memang sepi. Hanya diisi Mama Ari yang berkutat dengan novelnya dan Ari yang suka berdiam diri di kamar. Ibu maupun anak memang anti sosial.

Tetapi, Erigo tahu, perbedaan rumah ini dengan rumahnya. Sesepi apapun rumah Ari, secanggung apapun itu, masih ada secercah kasih sayang. Ada perhatian yang dilontarkan seorang ibu untuk anaknya. Ada beberapa kata yang hanya bisa ditanyakan oleh seorang ibu yang bisa terdengar di rumah ini.

Rumah Erigo itu, tidak bisa dibandingkan oleh apapun dengan rumah terseram di dunia. Seseram apapun, lebih menakutkan lagi rumah yang ada orangnya, tetapi tidak ada penghuninya.

Ya, begitulah.

"Go?"

Teguran dari Ari membuat Erigo mendongak, menatap kedua sobatnya yang sudah melihatnya dengan tatapan menyelik.

"Apa?"tanyanya, dungu.

"Temen lo napa, Ri?"ucap Sam dengan wajah penasaran. "Gue mencium ada sesuatu yang nggak beres."

"Lebay—."

"Terus ngapain dari sampe sini lo pegang dada mulu? Takut dipegang babang nakal?"

Pertanyaan terbodoh dari yang paling bodoh oleh Sam Ronald yang otaknya lebih se-ons, kurang sekilo.

Erigo melempar bantal ke arah Sam. "Lo kira gue homo, hah?"

Sam menangkap bantal itu seraya mendengus. "Makanya cari pacar!"

Tiga kata itu sukses membuat seorang flower boy di SMA TB merasa tertusuk.

"Masa lo nggak ngeh sih, Sam? Kalau dia, mah lagi mau ngedapetin Gita?"Ari yang sedaritadi berkutat dengan laptopnya, memilih untuk bersuara.

Erigo menyender ke dinging. "Gita mulu, sih. Nggak ada yang lain?"

Sam berceletuk. "Selain Gita, siapa lagi?"

Sama saja artinya, salah lo sendiri cuman deketin dia.

Erigo lebih memilih diam, meraih handphonenya, dan berniat mengirim pesan ke gadis itu.

Erigo Pratama: Lg ngpain?

Tidak lama kemudian, pesan balasan nyangkut di notifikasi Erigo.

Brigitta Novera: Nggk ad. Knp?

Erigo Pratama: Bsk trakhir, kan?

Erigo Pratama: Ad ssuatu yg hrs gw lakuin.

Erigo Pratama: Berdua, sm lo.

Brigitta Novera: Nggk bs. Gw nggk msuk bsk.

Brigitta Novera: Sehari it, trsrh mw lo gunain kpn.

Erigo Pratama: Lagi?

"Kemarin, gue ngeliat Gita keluar-masuk ruang kepala sekolah."ucap Ari di tengah kesunyian.

Merasa tertarik, Erigo meletakkan handphonenya. "Ngapain?"

Ari mengangkat bahunya. "Nggak tahu. Ada yang bilang, sih, emang dia hampir setiap hari ke sana. Nggak tau kenapa."

"Ngurus beasiswa kali."

Erigo mengerutkan dahinya. "Beasiswa?"

Dia pura-pura tidak tahu.

Sam yang sedang bermain game di ponselnya, mengangguk. "Gue denger-denger, sih. 'Kan angkatan kita ada lima orang yang penerima beasiswa. Kabarnya, ya, Gita adalah satu-satunya kandidat yang diloloskan tanpa tes. Semacam spesial gitu, deh."

"Bukannya dia memang pintar?"tanya Erigo lagi. Mati penasaran.

"Gita, kan juga nggak sepintar itu, Erigo muah muah."ucap Sam dengan sedikit lawakan, tetapi tidak lucu.

"Orang pintar belum tentu bisa dapat beasiswa."gumam Ari yang tertarik dengan persoalan ini. "Bisa aja, dia lebih bertanggung jawab dengan apa yang diberikan. Biar yang lain tidak menjadikan hal itu menjadi bahan gosip, misalnya."

Erigo memanggut-manggut. Bisa saja, sih.

"Kalau misalnya gue ngaku, nih, kalau gue anak yang punya TB, gimana?"pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Erigo.

Pertanyaan yang sudah lama ingin Erigo tanyakan.

Namun, kedua orang itu malah tertawa terbahak-bahak.

"Jangan ngebayangin deh, Go. Jatuhnya sakit."komentar Ari disela tawanya.

"Ye, kali benar."elak Erigo yang merasa terejek.

Sam menyambung. "Ada-ada aja lo. Tampang urakan begitu anaknya Bu Trista. Lagian, kan dia punya anak, katanya sekolah di Amerika."

Sebagian diri Erigo merasa pahit akan kebohongan. Begitukah kabar yang beredar?

Namun di sisi lain, Erigo tidak perlu merasa khawatir.

"Gue jadi penasaran sama Ketua Yayasan kita."celetuk Sam, membuat Erigo menelan ludah.

"Bu Trista apa kabar, ya? Sekolah ini jadi lumayan kacau ketika diambil alih oleh Pak Hernawan."sambung Ari.

Kedua tangan Erigo bergetar. Kedua matanya terlihat tidak tenang. Rasa bersalah menjalar ke seluruh tubuhnya.

"Iya, kan Go?"

"Eh?"Erigo menatap Sam yang raut wajahnya seperti bingung.

"Lo kenapa?"

Dengan cepat, Erigo menggeleng. "I'm okay."

Walaupun ia tidak merasa kata-kata itu menggambarkan dirinya sekarang.

💥💥💥

EnG's-01 : Elevator [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang