• FOURTY •

3.7K 281 2
                                    

            He like her

💥💥💥

Awalnya, Gita bingung ketika motor Erigo memasuki pekarangan penjara. Namun, ia tidak menanyakan hal apapun. Yang ia lakukan, mengikuti Erigo memasuki bangunan itu.

   "Ayo masuk."ucap Erigo sehabis berbicara sesuatu di ruang administrasi.

   Gita hanya menurut.

   Mereka berjalan, menyusuri banyak sel penjara yang berisi pelanggar hukum. Gita bergidik ngeri ketika mendengar kata-kata kasar.

   Erigo menggenggam tangannya.

   "Berani?"tanyanya lagi.

   Gita mengangguk. Ketakutan itu sedikit sirna sekarang.

   Mereka berjalan cukup jauh hingga ke sebuah ruangan, akhir dari lorong ini. Erigo mengeluarkan sebuah kartu dan meletakkannya gagang pintu. Begitu pintu terbuka, tampilan ruangan bernuansana abu-abu menghiasi pemandangan baru. Ruangan itu cukup luas untuk dibilang penjara.

   Tetapi, ternyata, ada ruangan lagi setelahnya. Hanya dibatasi jendela kaca.

   Gita duduk di kursi, sedangkan Erigo masuk ke sebuah bilik, pembatas dua ruangan itu. Ia tidak mau ikut campur urusan pribadi Erigo. Ia masih tahu diri.

   Dan tidak lama kemudian, tampaklah seseorang laki-laki dengan baju tahanan.

💥💥💥

   Butuh nyali besar untuk bisa pergi ke sini.

   "Hai, Ta."sapanya hangat.

   Erigo menunduk, membiarkan air matanya jatuh. "Maaf, Kak..."

   Kelvin yang di dalam sana menggeleng. "Gue senang karena lo udah berani ke sini."

   Tangis Erigo seakan tidak bisa dibendung. Kemana saja selama tiga tahun ini? Kakaknya hanya berharap dia ke sini, menemani dirinya.

   Kenapa dia begitu takut?

   "Gue nggak nyuruh lo ke sini buat nangis."ucap Kelvin, berusaha menghentikan tangisan adiknya karena ia tidak bisa berbuat apa-apa.

   Erigo tenang, walaupun sedikit isakan masih ada. "Lo apa kabar?"

   "Ya, baik-baik aja,"jawab Kelvin dengan wajah sumringah. "Makasih, deh, lo udah pindahin gue ke penjara executive. Ada AC-nya. Seenggaknya nyaman, lah."

   "Karena lo nggak bersalah."tegas Erigo.

   Erigo sendiri yang memindahkan Kelvin ke penjara yang paling tinggi. Ia merasa tidak enak, pertama. Kedua, Kelvin tidak bersalah.

   Ya, dia melakukan itu tanpa menemui Kelvin.

   "Mama apa kabar?"

   Astaga. Bagaimana Erigo menjelaskannya?

   "Sejak lo dipenjara, kewarasan Mama perlahan menghilang karena pria itu bilang kalau lo meninggal di kecelakaan itu."

   Erigo perlahan menceritakan seluruh kejadian setelah Kelvin menghilang. Tentang dirinya yang takut menemui Kelvin. Tentang Mama yang selalu mengusirnya ketika berkunjung. Tentang sosok Papa yang tidak ada lagi dikehidupannya.

   Sementara Kelvin, merasa tidak percaya kalau Mamanya baru saja dimakamkan.

   "Sori, gue baru bisa ke sini."lirih Erigo merasa bersalah. "Gue takut, lo jadi benci gue. Cuman lo, keluarga yang masih gue anggap sebagai keluarga. Gue nggak tau—,"

   "Lo nggak perlu menyesal, Ta,"sela Kelvin, dengan pancaran hangatnya. "Ada kalanya, kebenaran sulit terungkap karena memang takdir. Tapi, bagi gue, dengan lo percaya sama gue, gue juga percaya sama diri gue kalau gue nggak nabrak mobil itu. Dia yang nabrak gue. Takdir gue aja yang lagi nggak sejalan."

   Lalu mereka berdua berbagi cerita. Tentang sekolah Erigo dan perkembangan zaman. Tentang betapa canggihnya toilet di ruangan ini dan seberapa ketatnya bangunan ini.

   "Cewek yang di sana siapa, Ta?"tanya Kelvin, yang dimaksudnya adalah Gita yang sedang menunggu di luar.

   Erigo tersenyum penuh arti, membuat Kelvin menangkap sebuah makna.

   "Eh, udah punya pacar aja..."ledek Kelvin ke adiknya.

   "Bukan pacar...,"sela Erigo, lalu berbisik, "calon kayaknya."

   Kedua kakak-beradik itu tertawa. Lelucon mereka memiliki kode yang sama. Sangat menyenangkan berbicara seperti ini, sudah sejak lama.

   "Besok, kita ke makam Mama, ya,"ucap Erigo. "Kata Pak Anwar, hari ini nggak boleh, jadi besok aja. Gue udah minta izin."

   Kelvin mengangguk. "Gue pengen ketemu Mama."

   Mereka berdua merasa pilu.

💥💥💥

   Erigo mengajaknya nongkrong di sebuah tempat yang bisa memperlihatkan lampu-lampu dari gedung pencakar langit menjadi indah. Gita yang belum pernah melihatnya, merasa terkagum-kagum. Ia kira, pemandangan seperti ini hanya bisa dilihatnya di luar negeri.

   "Tau darimana, sih Go?"celetuk Gita yang masih dengan wajah terpana. Merasa tidak ditanggapi, Gita berdehem. Ah, seharusnya dia diam saja.

   "Ada yang mau lo tanyain?"tanya Erigo, membuat Gita mengedipkan mata beberapa kali.

   "Setelah gue ajak hari ini, ada, kan yang mau lo tanyain?"

   Gita mendadak bingung. Benarkah ia ingin bertanya?

   "Lo... belum makan sama sekali, kan?"

   Pertanyaan itu mendadak keluar dari mulut Gita.

   Bahkan, Erigo pun terkejut mendengarnya.

   "Jadi, itu yang mau lo tanyain?"tanya Erigo heran.

   Gita mengangkat bahunya. "Lebih tepatnya, nggak ada pertanyaan."

   "Terus, kenapa daritadi diam aja?"tanya Erigo, tidak puas.

   "Karena lo juga diam aja, Erigo."balas Gita yang masih sabar. "Ayo dong, jangan berantem, hari ini aja. Pemandangannya lagi enak, nih."

   Erigo terkekeh dibuatnya. "Ya iyalah, ada gue."

   "Nggak, gue lebih suka lampunya. Cantik."

   Di mata Gita, Erigo selalu kalah bila dibandingkan dengan sesuatu.

   Anak-anak rambut Gita mulai diterpa angin malam. Melihat reaksi gadis itu, membuat Erigo tersenyum tanpa disadarinya.

   Kenapa hari ini gadis itu terlihat sangat spesial?

   "Git."

   Gadis itu menoleh. Tatapan mereka bertemu, seolah kali ini adalah yang pertama.

   Dan jantung Erigo berdebar, seperti kemarin-kemarin.

   "Selamat, Git. Lo udah buat gue jatuh cinta untuk pertama kalinya."

   Seperti itulah momen dimana Erigo menyadari perasaannya.

   Dia sangat menyukai gadis jutek yang ada dihadapannya sekarang.

💥💥💥

EnG's-01 : Elevator [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang