10. Speechless

1.2K 227 31
                                    

*Cerita ini hanya memakai Sudut Pandang Orang Pertama dan tidak akan memakai Sudut Pandang Orang Ketiga. Jadi, di setiap chapternya saya gantian pake sudut pandang antara Marc dan Adel.

Selamat membaca🐜

Mataku terbangun dan tidak menemukan sosok Marc di sampingku. Melirik jam di dinding menunjukkan pukul enam lewat, lantas kusibak selimut untuk bangkit dari ranjang. Aku berjalan keluar kamar, mencium suatu aroma dari arah dapur.

"Marc!" panggilku, baru ingat semalam dia berjanji akan memasak untukku. "kau masak apa? Panggil aku, kalau sudah siap. Aku ingin menemui Mail."

Hening, tak ada sahutan dari mulutnya. Apa dia masih marah akan ucapan Jose semalam? Bukankah ini semua demi kebaikannya sendiri? Mengapa dia selalu bersikap kekanakan?

Lelah dengan segala pemikiranku, aku putuskan berjalan ke arah sofa dan melihat Mail di dalam kandangnya. Semenjak di Cervera hingga detik ini, anakku belum merasakan udara luar kandang. Betapa kejamnya aku selalu mengurungnya.

"Mail, sekarang kau boleh keluar. Bermainlah selama Marc berada di dapur."

Aku mengeluarkannya dengan penuh kehati-hatian. Sedangkan, dia menurut dan sesekali mengeong. Kududukkan dia di atas sofa, yang langsung menjilati bulu kakinya dan menatapku sekilas. Tanganku beralih mengelus puncak kepalanya dengan lembut.

"Diam di sini, jangan ke mana-mana. Sementara, aku akan pergi ambil makananmu di dapur. Oke?"

Mail hanya menatapku. Dari tatapannya nampak dia mengerti apa yang kukatakan. Dua tahun bersamaku, tentu saja dia menjadi kucing yang penurut dan mengerti bahasa manusia. Ah, mungkin akulah yang sudah mengerti bahasa kucing.

Melangkah memasuki dapur, kudapati Marc sedang bergelut dengan sebuah adonan dalam mangkuk besar.

"Ternyata, kau menepati ucapanmu," ujarku, berdiri di sampingnya dan mengelus punggungnya sejenak. "Kau buat apa?"

Tiba-tiba saja aku dilanda rasa malu, mengingat dia lebih mahir dalam urusan dapur, dibandingkan dengan diriku. Mungkin dia harus berpikir dua kali untuk menjadikanku istrinya, jika aku belum pandai memasak.

"Aku bukan pembual, Adel. Tentu saja aku menepati ucapanku," sahut Marc, tanpa berniat menoleh ke arahku. Tangan kekarnya begitu lincah menuangkan susu cair dan mengaduk semua adonannya dengan mixer.

Aku hanya terkekeh, tidak ingin terus menggodanya, lantaran mimik mukanya terlihat masih marah akan kejadian semalam. Aku pun menyibukkan diri menuangkan makanan Mail dan mengaduknya sesaat.

"Biar kubantu," kataku lagi dengan seulas senyum. Kemudian, aku memegangi tangannya yang sedang memegang mixer. "Besok-besok biar aku yang masak untukmu."

Akhirnya, Marc melirikku dan tersenyum. Tak ayal senyumannya yang lebar tak bisa dikondisikan itu, menjadi suntikan semangat untuk hidupku.

"Hari ini aku yang akan melayanimu. Jadi, bersantailah."

Mendengar itu, aku menautkan kening sarat keheranan. Tiba-tiba suara Mail mengeong terdengar dari jarak dekat, membuatku menoleh spontan ke arah pintu. Benar saja, Mail berjalan mendekati kami.

Lantas, Marc membalikkan badan melihat Mail dan mematikan mixer yang kami pegangi, membuatku refleks melepaskan tanganku darinya.

"Adel, kenapa kau mengeluarkan Mail?!"

Marc berteriak kesal, membuat Mail menatapnya dan duduk beberapa langkah dari kami.

"Bawa dia keluar, kau tidak perlu membantuku."

Bad Reputation [COMPLETED]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang