27. A Nessecity for Apologies

1K 202 138
                                    

Soundtrack for this part:
Moments - One Direction

Dengan perasaan senang bercampur takut, aku keluar dari lift apartemen Pondok Indah Barcelona. Mulutku sedikit bersenandung, langkahku jalan terburu-buru—ingin segera melihat wajah kekasihku. Aku langsung ke sini, setibaku dari bandara beberapa menit lalu. Rinduku ini sudah tidak tertahankan lagi, dan harus bertemu dengannya.

Kutekan bel apartemen, lantaran aku belum mengetahui kode barunya. Cukup dua kali aku menekan bel, pintu pun langsung terbuka.

"Marc?! Kau?" Adel terheran, wajahnya terkesiap, terlihat dari kerutan alisnya memandangiku.

"Ya, ini aku. Kau kira siapa, huh?" tanyaku dengan tenang, sedikit menahan kesal.

Mengapa dia harus sekaget itu melihatku?

Lantas, aku masuk ke dalam apartemen tanpa aba-aba dipersilakan dulu olehnya.

"Kukira, orang lain. Kenapa kau tidak menelponku dulu?" decak Adel, sambil mengikutiku dari belakang.

Aku duduk di sofa depan televisi, melepas koper dan tas ranselku. Sedangkan, Adel masih berdiri menatapku.

"Maksudmu? Kenapa aku harus menelponmu dulu? Bukankah ini juga rumahku? Aku membayar sebagiannya," balasku sedikit nyolot. "Apa kau takut ketahuan selingkuh di sini dengan si pirang itu?!"

Intonasi suaraku berubah meninggi. Namun, aku berusaha untuk mengerem perkataanku saat dia bungkam, lantas tersenyum pahit ke arahku.

Sungguh, aku tidak berniat untuk mengatainya. Hanya saja, aku kesal mendengar pertanyaan anehnya tadi. Kami terlibat saling diam cukup lama, hingga dia pun duduk di sofa yang berjauhan denganku.

"Kalau begitu, jangan lagi bayar apartemen ini, jika kau merasa keberatan. Dan sungguh, aku tidak mengerti tuduhan bodohmu itu tentangku," sahut Adel sengit. Bahkan, dia lebih memilih menatap layar televisi, yang sedang menampilkan drama Korea, daripada mataku.

Aku mengembuskan napas kasar, sekilas menengadah pada langit-langit apartemen. "Adel, maafkan ucapanku. Aku tidak bermaksud mengataimu. Oke, maaf, maaf... aku hanya lelah, dan merasa aneh akan pertanyaanmu tadi. Aku begitu takut jika sampai harus kehilanganmu," ujarku dengan rasa bersalah, begitu takut membuatnya marah lagi.

Adel tertunduk lemah, dan aku sungguh merasa tidak enak dengannya. Batinku merutuki tempramenku yang sedikit tak terkendali akhir-akhir ini.

"Kau bicara seperti itu, seolah-olah aku benar punya hubungan lebih dengan Horan. Dengar, Marc, aku tidak seperti apa yang ada dalam ketakutanmu," lirih Adel, membuat mataku begitu terfokus padanya. "Kau tidak tahu rasanya begitu sakit terus-terusan dituduh. Belum lagi aku harus memikirkan keadaanmu, ketika kita saling mendiamkan satu sama lain. Aku selalu berdoa, agar kau serius berbenah diri akan hari-hari berat yang kita lalui kemarin. Aku selalu berharap, agar kau tidak dibebani luka sepertiku."

Getaran suaranya terdengar bergemuruh, bagaikan petir menyambar gendang telingaku. Tiba-tiba saja aku merasakan sakit yang dia rasakan. Dia begitu menderita, dan itu semua karenaku.

"Maaf. Aku tidak bermaksud melukaimu dengan segala sikapku akhir-akhir ini."

Kemudian, aku menunduk, tidak berani menatap kepahitan yang terpancar jelas di matanya.

Meong...

Ekor mataku melihat Mail datang mendekatiku dari balik sofa, sepertinya baru saja keluar dari kamar. Lantas, buru-buru Adel bangkit menggendongnya. Betapa wanitaku ini sangat melindungiku, pun hatiku semakin tidak enak dibuatnya.

"Kau harus diam di kandangmu, Mail," kata Adel, serya menggendong Mail dan masuk ke dalam kamar—meninggalkanku.

Kurasakan embusan angin masuk melewati tirai pintu besar, yang berkaca bening dan terhubung ke balkon. Ternyata, Adel belum menutup pintunya.

Bad Reputation [COMPLETED]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang