49. Don't be Scared

891 156 53
                                    

Soundtrack for this part:
Never Be Alone - Shawn Mendes

"Marc, Adel...."

Adel sedang memasang kancing bajuku, lantas suara panggilan itu membuat kami menoleh bersamaan ke arah pintu, mendapati sosok Ibuku berjalan mendekati kami dengan satu kantong tas di tangannya.

"Bagaimana keadaanmu, Marc?" Berdiri di samping Adel, Ibuku menatap lurus pada wajahku.

"Sudah agak baikan. Mungkin nanti aku bisa minta izin pada Dokter Blake untuk pulang. Aku sungguh bosan berada di sini," sahutku, tepat setelah Adel menyelesaikan pekerjaannya.

"Kau yakin?" Mata Ibuku memicing untuk memastikan yang didengarnya barusan.

"Ya, Bu. Ini bukanlah yang pertama. Aku 'kan sudah beberapa kali cedera saat balapan, walaupun tidak pernah dirawat selama ini. Rawat jalan saja di rumah. Itu lebih baik."

"Marc, cedera karena balapan di sirkuit dan cedera karena ditabrak truk adalah hal yang berbeda. Jangan menganggap sakitmu ini hal yang biasa."

Kata-kata Adel terdengar seperti sebuah protes, membuatku mendengkus kesal. Sungguh, aku hanya ingin segera pulang. Itu saja.

"Adel benar, Marc. Jika nanti Dokter Blake belum mengizinkanmu untuk pulang, kau tidak boleh memaksa seperti kemarin kau minta melepas penyangga lehermu. Lalu, mengapa lehermu dipasang penyangga lagi?" sahut Ibuku, yang ternyata ia dan Adel sama saja.

"Leherku mendadak sakit," jawabku, seraya menahan jengkel. Aku menunduk-enggan melihat mereka berdua.

"Itulah akibatnya, jika kau masih bertingkah semaumu," Lagi, Adel mengomel. "Sekarang kusuap kau makan." Tangannya pun langsung terulur mengambil nampan di atas meja.

"Tidak. Aku tidak mau makanan rumah sakit. Aku mau roti saja," selaku cepat.

Adel memutar bola mata lagi, lagi dan lagi. Dia berdiri dari duduknya, meletakkan kembali nampan sarapanku ke atas meja. Dia selalu seperti itu.

Ibuku yang sedari tadi hanya memerhatikan tingkah kami, sempat menggelengkan kepala-seolah tidak habis pikir. "Adel, biar aku saja yang memberi rotinya. Ini, aku membawakanmu sarapan. Kau makan duluan," ucapnya, lantas menyodorkan kantong tas yang dibawanya pada Adel.

"Ya, lebih baik kau makan, duduk dan diam di sofa. Biar Ibu saja yang mengurusku," kataku-masih terdengar kesal.

Adel menerima kantong tasnya dan bergegas menuju sofa. Namun, dia tidak langsung membuka makanannya, melainkan mengambil tas dan memainkan ponsel. Sementara, Ibuku dengan gesit menyiapkan roti tawar, diolesi selai cokelat dan keju lapis.

"Maaf, Bibi, kurasa, aku harus pulang sekarang."

Dalam sekejap keningku mengerut. Kepanikan datang menyerangku, disertai rasa takut. "Apa?!" Aku menatap Adel tajam-memperlihatkan ekspresi tidak setuju. "Kau marah padaku?" tanyaku spontan.

Mengapa dia ingin pulang? Dia belum memakan sarapannya, bahkan jam pun belum menunjukkan pukul delapan. Ini masih terlalu pagi.

"Mengapa aku harus marah padamu? Dari semalam ponselku mati. Ed mengkhawatirkan dan mencariku sampai ke rumah Kenny. Jadi, aku harus pulang sekarang."

Mendengar itu, urat keningku langsung merenggang dan batinku mendesah senang. Sempat kupikir dia marah akan ucapanku tadi, lalu berniat meninggalkanku.

"Kau tidak memberi tahunya datang ke sini? Ini masih terlalu pagi untuk pulang, Adel."

"Marc...."

Nampak Adel menatapku penuh pengharapan, seolah ingin aku mengerti dan tidak memaksanya. Dia pasti tidak memberi tahu kedatangannya ke sini pada Edward. Tentu saja.

Bad Reputation [COMPLETED]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang