21. Starting from Here

1K 212 114
                                    

Aku mengembuskan napas berat di depan cermin salah satu toilet sirkuit San Marino. Dengan kesadaran penuh, aku sekarang berada di tempat yang tak seharusnya aku pijaki. Tatapanku beralih pada ponsel, kala sahabatku bernama Betty—dalang di balik semua ini—menelponku.

"Kau sudah selesai melakukan tugas pertamamu? Aku baru saja keluar dari ruang sidang. Kau tahu? Ini sangat melegakan," ujar Betty dengan girang, membuatku sedikit bingung antara harus senang atau kesal mendengarnya.

"Ya, aku baru saja mewawancarai semua pembalap itu. Ya Tuhan, Betty! Bagiku ini sangat melelahkan. Aku harus berburu pertanyaan dengan wartawan lainnya, sembari mencatat dan merekam jawaban para pembalap," erangku frustasi, menatap diri pada pantulan cermin depan wastafel.

"Nikmatilah, Adel. Lagi pula, kau bisa dengan mudah bertemu dan meminta tanda tangan Jorge Lorenzo. Apa dia lebih tampan dari yang kau lihat di televisi?"

"Itu sudah jelas, dia sangat tampan dari dekat. Aku tahu kau mengirimkanku gratis ke sini, tapi sungguh, bukan dengan cara seperti ini yang kumau. Berpura-pura jadi wartawan di depan Jorge bukan hal yang menyenangkan, aku tidak bisa menunjukkan sikap fangirl-ku, maksudku aku tidak bisa memeluknya atau mengecup pipinya," jelasku menekan setiap ucapanku. Jorge juga alasanku mau berada di sini. "Kau tidak lupa memberi Mail makan, 'kan?"

"Belum, Adel. Aku lupa, tadi pagi aku buru-buru ke kampus."

"APA?!! KAU BELUM MEMBERI MAIL MAKAN? DEMI TUHAN, AKU BERADA DI SINI PURA-PURA MENJADI WARTAWAN MENGGANTIKANMU, DAN KAU MALAH MENELANTARKAN ANAKKU DENGAN TIDAK MEMBERINYA MAKAN?!"

Aku mengerang keras, bahkan suara teriakkanku seperti menggema lima oktaf di dalam toilet. Ketahuilah, aku sangat sensitif dengan hal menyangkut keadaan Mail—kucing yang kuanggap seperti anak sendiri.

"Hey, kau baik-baik saja di dalam? Kenapa kau berteriak?!"

Tiba-tiba saja, suara seorang pria dan ketukan pintu di luar membuatku tersentak.

"Y—ya. Aku baik-baik saja. Maaf, aku sedang menelpon," jawabku, mencoba menetralisir suaraku yang semula tak bisa dikondisikan kerasnya. Lantas, aku mengembalikan fokusku pada Betty di seberang telepon. "Aku tidak mau tahu. Kau pulang sekarang dan beri Mail makan. Aku harus keluar dari toilet untuk pulang ke hotel, karena sebentar lagi akan malam. Oke, Betty?!"

Cepat-cepat aku memutuskan sambungan telepon kami dengan dongkol, aku menaruh tas ke punggungku, barulah mendekati pintu toilet. Saat pintu terbuka, aku begitu terkejut mendapati seorang pria, yang tadi sedang menempelkan kepalanya pada pintu toilet.

"M—Marc—Márquez? Apa yang ka—kau lakukan di sini? Apa kau menguping pembicaraanku?!" Aku tergagap, mendapati pemandangan di depanku.

Dia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, sembari menatapku. "Aku kaget mendengarmu berteriak. Kupikir, kau tertimpa tembok toilet atau semacamnya. Jadi, aku penasaran untuk memastikan apa yang kau perbuat di dalam, lalu aku mendapati satu informasi tentang kau adalah wartawan gadungan. Aku benar, 'kan?" interogasinya langsung menuduh.

Mataku meneliti ke sekeliling, yang ternyata sudah sepi. Matahari sudah setengah terbenam dan memasuki malam. Hanya ada aku dan dia di sekitar toilet.

"A—apa? K—kau menguping pembicaraanku? Kau sungguh tidak sopan. Benar atau tidaknya, it's none of your business!"

Aku melangkah untuk menjauhinya, lantaran tidak ingin mati berdiri, sudah kepergok olehnya. Namun, dia justru menarik pergelangan tanganku dengan kuat, dan berusaha untuk melepasnya, namun gagal.

Bad Reputation [COMPLETED]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang