76. Telling the Truth

725 114 88
                                    

Soundtrack for this part: Feeling Sorry - Paramore

Bokongku terasa keram, lantaran selalu duduk berjam-jam di dalam mobil selama beberapa hari ini. Namun, aku lega melihat dari kejauhan, bahwa mobil sebentar lagi akan memasuki kawasan Lleida. Jam di dashboard pun menunjukkan pukul setengah sebelas pagi.

"Lex, bisakah kau turunkan aku di stasiun kereta? Aku ingin ke Barcelona untuk melihat Ed."

Alex yang mengemudi dengan tampang kalem dan sedikit lelah, lantas menoleh ke arahku. "Marc berpesan, kau harus pulang bersamaku. Dia bilang, kau perlu banyak istirahat di rumah. Pergi ke Barcelona membutuhkan waktu satu jam lagi, yang artinya kau akan semakin lelah."

"Ah, Alex, kau hanya perlu mengantarku ke stasiun, tidak perlu berceramah. Aku akan kembali sore nanti, dan menyuruh Ed untuk mengantarku," kataku setengah kesal.

Mengapa pula kali ini dia harus mengindahkan ucapan abangnya itu?

"Kumohon, Lex, kumohon...."

Aku memasang wajah mengiba dan memegangi tangannya di kemudi, agar tidak belok menuju arah jalan ke Cervera, yang sudah semakin dekat. Jika ke stasiun, arahnya harus lurus.

"Oke, baiklah," Alex menghela napas berat nan panjang. "Aku tidak mungkin tega membiarkanmu sendirian naik kereta ke Barcelona. Jadi, kau akan kuantar," Wajahnya sedikit muram, pertanda dia setengah hati mengantarku. "Mengapa tidak suruh Ed saja yang ke Cervera? Lagi pula, besok malam natal, kita bisa merayakannya bersama-sama, daripada kita yang harus menyusulnya. Ya, tapi, tidak apa-apalah, aku menyayangimu. Aku tidak mungkin menelantarkanmu, Kakak ipar." Akhirnya, dia tersenyum dan mengerjapkan satu matanya dengan tampan ke arahku.

Demi neptunus!

Aku tak mampu menahan tawa yang langsung pecah. Ekspresi Alex sangat menggemaskan. Meski, aku sedikit tidak enak hati harus merepotkannya lagi.

"Sebenarnya, aku ingin menjenguk Horan. Aku ingin tahu keadaannya, setelah abangmu itu menghajar wajahnya."

Berhari-hari sudah aku dihantui oleh keadaan Horan. Kendati, aku pun marah, dia tega menyebarkan surat kontrak perjanjian Marc ke media. Namun, hati nuraniku masih berfungsi baik untuk memikirkan kondisinya yang babak belur akan ulah suamiku sendiri.

"Ya, kupikir, itu ide yang bagus. Sungguh, aku malu mengetahui tentang Marc memukuli seseorang, hingga menempatkan dirinya ke dalam reputasi buruk. Sebenarnya, Ayah marah besar, aku tidak tahu apa jadinya saat mereka bertemu besok. Mungkin Marc akan kena sidang. Aku tidak memberi tahunya tentang hal ini."

"Serius?!" pekikku terkejut. Mataku melebar, memandangi Alex selama seperkian detik. "Ayah marah? Apa katanya? Bukannya ia sudah tahu, bahwa Marc seorang hypersex?"

"Ya, benar. Tapi, Ayah kaget melihat isi surat kontrak perjanjian itu. Ia menelponku semalam dan mengaku kecewa. Entah di mana ia akan letakkan rasa malu. Beberapa tetangga selalu membahas berita Marc."

Alex memberi jeda sejenak pada ucapannya, yang buatku bisa menelaah dan mendengar ada kesedihan dari nada bicaranya.

"Entah mengapa, hal-hal buruk selalu menimpa Marc. Bahkan, ketikan jari netizen saat mencibirnya di media sosial terasa lebih tajam, dibandingkan sebuah pisau. Rasanya, aku ingin membalas semua komentar-komentar jahat itu dengan berkata, 'hey, kau tidak tahu apa-apa, berhentilah memberi komentar buruk'."

Menghela napas kasar, nampak Alex begitu menahan rasa kesal. Bagaimanapun juga, yang dia rasakan mungkin jauh lebih dalam daripada aku. Dia sudah melewati banyak hal dan tumbuh bersama sejak bayi dengan Marc. Kendati, mereka kerapkali beradu argumen, bahkan untuk hal sepele sekalipun, aku tahu jauh di lubuk hatinya sangat menyanyangi Marc.

Bad Reputation [COMPLETED]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang