63. New Rules

1.2K 167 127
                                    

"Marc... Marc...! Kau di mana?!"

Suara teriakkan Adel memekik hingga ke dalam garasi-tempatku berada.

"Aku di-"

"Astaga, Marc, kupikir, kau meninggalkanku."

Belum selesai aku menjawab, suara dan kemunculan Adel sudah lebih dulu datang menginterupsiku untuk melihatnya. Nampak dia terengah, membungkuk dan menekuk kedua lututnya dengan lelah.

"Aku mencarimu ke seluruh penjuru rumah. Apa yang kau perbuat di sini?"

Adel mendekatiku dan memangkas jarak di antara kami. Penampilannya masih memakai piyama panjang dan rambutnya nampak berantakan.

"Memanaskan dan mengelap motor."

Aku mengulas senyum lebar. Mataku tak lagi mengarah padanya dan kembali sibuk mengelap motor yang biasa kupakai berlatih motocross.

"Aku tidak mungkin pergi tanpa memberi tahumu. Kau ini," lanjutku lagi.

Adel menghela napas berat. Kini, matanya mulai meneliti kegiatanku, seraya melipat kedua tangannya di dada. "Jika kau harus memilih antara aku atau motormu. Siapa yang akan kau pilih?"

Secara spontan, aku menghentikan aktivitas dan mendongak padanya, setelah mendengar pertanyaan yang cukup mengusik rasa amanku.

"Kumohon, jangan beri aku pertanyaan semacam itu. Jelas kau sudah tahu jawabannya."

Aku beralih mematikan mesin motor dan memandangi Adel, yang raut wajahnya kini berubah cemberut dan berusaha dia tutupi dengan senyum samar.

"Ya, aku tahu, tentu saja motor."

Dia menghentakkan napas kasarnya sekali lagi, lantas membawa punggungnya berbalik menuju pintu belakang garasi. Sempat dia memutar bola mata-seolah menunjukkan padaku bahwa dia marah.

Otakku masih belum cukup pintar untuk mencerna semua perubahan signifikan dalam diri istriku akhir-akhir ini. Dia teramat sensitif-seringkali mudah tersinggung akan ucapan dan candaanku yang tidak dia suka. Sungguh, dulu saat kami masih pacaran pun dia tidak pernah begini.

Mengapa pula dia harus melontarkan pertanyaan jebakan seperti itu?

"Sayang...."

Kuputuskan untuk bergegas mengekorinya, atau aku akan mendapati diri kembali diacuhkan olehnya. Ditambah, ini waktu yang terlalu pagi jika kami harus kembali berdebat.

"Apa kau mau bermain ski, sebelum kita kembali ke Barcelona?"

Aku bertanya dan mensejajarkan tubuhku padanya. Nampak dia bersikap acuh tak acuh dan fokus pada langkahnya memasuki dapur. Bahkan, dia tak punya niat untuk sekadar melirik sedetik pun padaku.

"Kurasa, tidak."

Akhirnya, dia sudi untuk menyahutiku. Tangannya terulur sibuk membuka lemari kabinet dan mengambil kotak susu cair, menuangkannya ke gelas dan meneguknya kilat.

"Hey, kau marah padaku?"

Kudekap perutnya dengan damai dari belakang, berusaha buat dia tetap di dalam batas waras untuk tak perlu merajuk padaku. Lantas, dia menaruh gelas susu di atas meja pantry, barulah mau melirikku sebentar dengan tampang datar.

"Tidak. Aku sungguh tidak marah," sangkalnya dengan nada datar.

Aku menghela napas panjang dan berat, menyingkir sedikit darinya untuk bersandar di meja pantry, membuat tatapan kami langsung terjalin dengan posisi saling berhadapan.

"Dengar, Sayang, aku sudah jauh lebih dulu hidup dengan motorku, dibandingkan denganmu. Tapi, kau pun tahu, aku akan melakukan apa saja untuk terus membuatmu bahagia. Aku tidak bermaksud memilih motor, ketimbang dirimu, karena bagiku kalian berdua sama berharganya."

Bad Reputation [COMPLETED]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang