7. Cervera

1.4K 237 26
                                    

Despacito
Quiero desnudarte a besos despacito
Firmo en las paredes de tu labwrinto
Y hacer de tu cuerpo todo un manuscrito
Sube sube sube

Begitulah sepenggal lirik lagu yang aku dan Adel senandungkan dalam mobil. Tapi kurasa, kami tidak benar-benar nyanyi bersama, karena dia hanya menyanyikan bagian despacito-nya.

"Yeah, nice...," kata Adel, sembari mengayunkan tangannya. Selama itu pula kami tertawa lepas.

Aku suka dia yang selalu memakhlumi suara burukku dalam bernyanyi, dan alasannya tentu saja karena dia juga memiliki suara yang sangat tidak merdu—sama sepertiku.

Mobilku berhenti saat mendapati lampu merah. Sementara, mulutku masih belum henti bersenandung ria, begitupun dengan Adel yang masih sibuk dengan goyangan konyolnya. Ini hanya sebagian kecil dari hal terbaik dalam hubungan kami. Setelah menunggu beberapa detik, mobilku kembali menelusuri jalanan Cervera menuju rumahku.

"Marc...."

"Si, mi amor," sahutku, seraya melirik ke arahnya.

"Kau tahu, kenapa aku belum memberimu lampu hijau untuk kita melakukannya sekarang?"

Pertanyaan Adel membuatku mengerutkan dahi. Dari balik sunglasses yang kukenakan, bisa kulihat pancaran matanya menatapku penuh.

"Karena kita belum menikah," kataku enteng, lantas kembali membawa pandanganku ke arah jalanan.

"Ada lagi selain itu, karena lampu hijau tercipta hanya untuk ditinggalkan. Kau lihat tadi? Saat lampunya merah, kau mencoba sabar untuk menunggu, sebab kau tahu akan banyak resiko jika kau menerobosnya. Setelah lampunya berubah hijau, kau lantas meninggalkannya begitu saja. Jadi, alasanku cukup kuat," jelas Adel  penuh dengan filosofi. "Dalam hidup, tidak ada jaminan untuk terus bahagia. Begitupun dengan kita, kita tidak tahu ada badai apa di depan sana, tak akan ada yang bisa menebak atau menjamin kau tidak akan meninggalkanku, setelah aku memberimu lampu hijau."

"Aku tidak akan meninggalkanmu. Kau ini, apa yang kau bicarakan?" tanyaku, pura-pura tidak mengerti.

Padahal, seketika ada kilatan aneh menghantam batinku. Tetapi, aku sedang tidak ingin mendengar ceramahannya lagi tentang masalah hubungan kami. Tersadar, dia memang lebih suka menceramahiku, semenjak kejadian aku menjawab teleponnya saat make out dengan Audrey kemarin.

Kemudian, secepat kilat Adel mencubit dadaku dan memukuli lenganku pelan. "Jangan pura-pura bodoh, Marc." Dia menyeringai dengan candaannya.

Aku refleks berontak, sembari terkekeh menahan geli. "Mau bermain cubit dada, hah? Lenganku cukup panjang untuk bisa menggapaimu."

Dengan sigap kuraih perut Adel untuk membalasnya. Tentu saja dia mencoba untuk menahan tanganku, dan kembali menarik dadaku.

"Fokus menyetir, Marc!"

"Bagaimana bisa fokus, kalau kau terus menyerangku?!"

Akhirnya, dia menghentikan serangan brutalnya tepat saat ban mobil berhenti di depan rumahku.

"Kau menyebalkan," decaknya, sambil menghela napas panjang.

Aku tersenyum lebar dengan tampang tak berdosa, lantas bangkit sedikit untuk mendekatkan jarak di antara kami.

"Berikan aku ciuman. Ayolah, hanya satu kecupan saja," ucapku sedikit merengek, serta meraih pipinya dengan bibirku.

Adel mendorong pelan bibirku dengan sekuat tenaganya. Sungguh, dia belum memberiku ciuman sejak semalam. Dan bagaimana bisa aku tidak ngeyel memintanya?

Kurasa, lebih baik aku tidak berjanji untuk mengontrol kecanduan seksku, daripada dia harus membatasiku akan dirinya. Bahkan, untuk saat ini ciuman saja terlalu sulit kudapatkan.

Bad Reputation [COMPLETED]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang