43. The Way He Makes Me Feel

995 158 46
                                    

Soundtrack for this part:
Without Me - Halsey
Stockholm Syndrom - One Direction

Aku menangis lagi. Padahal, Alex sudah memperingatiku untuk tidak menangis. Aku gagal menahan sudut mataku yang perlahan terasa panas nan merah.

Di dalam keheningan suara manusia, sudah beberapa menit berlalu aku hanya mengamati wajah terlelap Marc, sambil menggenggam tangannya. Aku tahu, dia kesakitan dalam tidur, lantaran deru napasnya kian keras—mungkin kesusahan bernapas dengan benar. Kuamati wajahnya yang tak lagi sebening dulu. Namun percayalah, dia masih terlihat tampan. Berjam-jam pun aku tidak akan bosan melihat wajahnya yang nampak tidak memiliki dosa, jika terpejam seperti ini. Wajahnya tenang dan damai.

Tak ada yang melihatku menangis. Jadi, aku menangis semampuku sampai air mataku rasanya habis tak bersisa. Ingin kuhabiskan untuk sekarang, seolah tak mau menyisakannya di kemudian hari. Aku sudah terlalu lelah untuk menangis.

Tiba-tiba, aku terkesiap di tempat, ketika lantunan lagu Back To You menggelegar di dalam ruangan.

Oh, sialan.

Aku melepas pelan genggamanku pada Marc, yang sedikit bergerak tidak nyaman dalam tidurnya. Buru-buru kulihat ponsel dan refleks mematikan panggilan telepon, yang ternyata dari Horan. Batinku menggerutu kesal. Beranjak dari dudukku, aku pun langsung menghapus air mata.

"Nghhh...."

Menoleh ke belakang, kudengar suara erangan Marc. Dia bergerak dari tidurnya, perlahan membuka mata sayu untuk mengamati langit ruangan cukup lama.

"Hey, kau membutuhkan sesuatu?"

Aku tergerak untuk kembali duduk di dekatnya yang tengah memandangiku lekat. Kemudian, dia menengok ke belakang punggungku—mungkin mencari orang selain diriku.

"Alex di luar, mungkin dia sedang makan. Apa kau kesakitan?" tanyaku, seolah mengerti arah pikiran Marc. Tanganku memegangi pundaknya, agar dia tidak lagi bergerak.

"M—min—um."

Mengerti akan ucapannya yang rendah nan terbata, aku pun meraih dan membuka tutup botol air minum yang ada di atas meja—tepat di samping ranjang, barulah mengarahkan sedotan ke mulutnya.

Aku ingin kembali menangis, jika melihat dia lemah tak berdaya seperti ini. Sungguh, Marc Márquez yang kukenal adalah pria kuat dan tangguh, bukan seperti apa yang ada di hadapanku sekarang. Namun, bibirku justru menarik segaris senyum, merasa lega bisa melihat mata cokelatnya lagi.

"Tidurlah. Akan kupanggilkan Alex di luar."

Kuletakkan kembali botol minuman ke atas meja. Membuka pakaian hijauku dan kutaruh di atas meja kecil dekat pintu masuk, barulah aku keluar dari ruangan. Sedetik saat aku menutup pintu, Marc memanggilku pelan, namun aku mengabaikannya, lantaran tidak menemukan sosok Alex dan Ed di tempat semula. Celingak-celinguk ke sekeliling, aku masih belum lihat keduanya.

Kuputuskan untuk menelpon Alex dan duduk di bangku panjang, yang terletak di dekat pintu ruangan Marc. Sempat kulihat satu pesan Horan menanyai keberadaanku dan memberi tahuku tentang motor Ed. Tetapi, untuk beberapa alasan aku tidak ingin memedulikan pesannya.

Menunggu cukup lama, Alex tak kunjung menjawab teleponku, hingga di nada terakhir sambungan telepon, barulah kulihat sosok dia dan Ed belok dari arah lorong sebelah kiri. Ada Jose pula mengekor di belakang mereka.

Aku mendesah lega, sembari memasukkan ponsel ke dalam tas. Tak lama kemudian, mereka kini berada di hadapanku.

"Kalian ke mana saja? Marc mencarimu di dalam, Alex."

"Kami habis makan di kantin rumah sakit. Kalian sudah selesai? Dia terbangun?"

"Ya, dia sudah bangun, dan aku akan pulang," jawabku.

Bad Reputation [COMPLETED]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang