13. New Office

1K 216 39
                                    

"Kurasa, seperti inilah yang seharusnya kita lakukan saat musim balapan berakhir nanti. Tidak selalu harus pergi ke Ibiza, seperti yang sudah kita rencanakan, karena bersamamu di balik tirai apartemen, sudah cukup menjadi liburan untukku."

Marc berujar dengan gombalnya, lantas menciumi leherku dengan liar. Sejak alarm membangunkan kami beberapa menit lalu, dia masih saja bermain di tengkukku.

"Oke, cukup, Marc. Itu sangat geli," erangku dengan kekehan dan menjauhkan kepalaku sedikit darinya. Pagi ini dia benar-benar menyebalkan.

"Kau ingin aku berhenti?" Dia menyeringai mesum. Aroma napas bangun tidur yang fantastis miliknya, menampar penciumanku.

"Tentu. Ini sudah pukul enam pagi. Dua jam lagi kau harus berangkat ke Madrid, Marc."

Aku tersenyum menatap wajah tampannya, yang terasa menghangatkan dari mentari sedang menyapa. Telunjukku bergerak di alis tebalnya yang menggemaskan itu.

"Kau tahu, Adel? Setidaknya, kau salah satu hal yang membuatku ingin bangun di pagi hari."

Aku mengulum senyum merona saat mendengar ucapan Marc. Sungguh, semua kata-kata manisnya lebih mudah membuatku diabetes, dibandingkan aku mengkonsumsi berkilogram gula.

"Kalau begitu, segeralah beranjak untuk mandi. Jarum jam tidak bergerak untuk menunggumu, Tuan Márquez. Pekerjaanlah yang sedang menunggumu."

Aku berujar panjang lebar, mengingatkan hari ini dia ada syuting bersama Estrella Galicia di Madrid. Kudorong tubuhnya, agar bisa leluasa bangkit dari ranjang.

"Akan kubuatkan sarapan, dan kau pergi mandi," suruhku lagi. Namun, melihat dia masih berbaring manis di atas ranjang, membuat mataku berotasi kesal.

Marc terkekeh. Akhirnya, dia beranjak setelah melihat ekspresi jengkelku. "Kau juga ada wawancara dengan Styles Advertising, 'kan?" peringatnya. Dia berdiri di samping ranjang untuk merenggangkan sedikit ototnya yang kurasa keram, lantaran semalaman tadi dia mendekapku protektif.

"Entahlah. Aku sedikit tak bersemangat untuk ke sana. Aku sedang ingin bekerja di perusaha—"

"Cukup, berhenti menolak. Kesempatan tidak datang dua kali, Sayangku. Mungkin, takdirmu memang harus bekerja lagi di perusahaan semacam itu. Lagi pula, itu perusahaan besar, kau beruntung mendapat panggilan wawancara tanpa repot mengirimkan lamaran. Ayolah, nampak aneh melihatmu mengeluh tentang pekerjaan. Ini sungguh bukan dirimu," ceramah Marc, setelah tidak sopannya memotong ucapanku.

"Oke. Terima kasih atas siraman rohaninya, Tuan. Harapanku pagi ini, semoga kau berhenti menjadi menyebalkan. Aku akan ke dapur membuat sarapan, dan kau ke kamar mandi untuk menyegarkan pikiran."

Aku memberengut mengulang ucapanku. Terkadang, ludahku sampai habis berbusa mengingatkan Marc. Lantas, aku memunggunginya menuju pintu.

"Kurasa, kau harus mendahulukan sarapan, daripada harapan, karena sarapan tak pernah sepalsu harapan, Sayang. Jadi, berhenti berharap aku tidak lagi menyebalkan."

Seketika, tawa cempreng khas Marc Márquez menggelegar di telingaku. Aku melangkah tak peduli akan ucapannya. Terlalu lelah jika harus menyahuti omong kosongnya itu. Tetapi, perutku cukup tergelitik, mengingat kata-katanya sudah banyak merajalela menjadi caption di Instagram.

Dasar pembalap sok quotesable!

***

Marc melirik jam tangannya, barulah beralih melirikku yang duduk tepat di sebelahnya.

Bad Reputation [COMPLETED]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang