32. Ever Since New York

832 173 79
                                    

Soundtrack for this part:
Mercy - Shawn Mendes
Rare - Selena Gomez
It Ain't Me - Kygo ft. Selena Gomez

Aku membasuh wajah di wastafel, merasa pekerjaan hari ini cukup menguras pikiranku. Saat rapat beberapa menit yang lalu, aku sempat berselisih dengan klienku, lantaran mereka menolak keras iklan yang aku presentasikan.

Hal lainnya yang masih terus mengusik pikiranku, yaitu Marc.

Ya, pikiranku masih dilambungkan kasar pada berengsek satu itu.

Aku sudah mencoba menghubunginya saat jam istirahat siang tadi. Alih-alih dapat penjelasan berita yang beredar cepat tentangnya, dia malah mengabaikan semua pesan dan panggilan teleponku sejak kemarin.

"Aku sudah menduga hal ini. Dia tidak pernah benar-benar menyukai wanita Amerika. Setahuku, standar wanita idamannya adalah wanita latin Spanyol. Dia selingkuh di belakangmu, Nona! Seharusnya, kau tahu diri, sejak awal dia memang tidak cocok denganmu."

Tiba-tiba saja, Carolina masuk ke dalam toilet—mengejutkanku. Dia berdiri di sampingku, sambil tergelak mencibir.

Aku tersenyum. Tidak ingin meledak marah, lantaran tidak mau merusak reputasiku di kantor. Kukeringkan wajah dengan selembar tisu, berusaha mengabaikan wanita yang mengaku dirinya penggemar si berengsek Marc.

"Aku sudah mengidolakan Marc sejak tahun 2012 saat dia masih di Moto2. Berarti, aku lebih mengenal siapa Marc Márquez yang sebenarnya," sambung Carolina, sambil menyisir rambutnya menggunakan jemari.

Aku menghela napas, masih mencoba untuk sabar dan tersenyum, meski dadaku sudah sesak ingin menampar mulut Carolina.

"Apa masalahmu denganku, Car?"

Kugenggam tasku dan sudah berniat keluar dari toilet. Tetapi, dia malah mencegah tanganku dengan kasar.

"Sejak awal aku memang tidak menyukaimu, Adel, mungkin kau pun merasakannya. Pertama, kau sudah merebut idolaku dan membuat dia menyudahi masa lajangnya. Kedua, kau itu genit, semenjak kau ada di kantor ini, perhatian Horan yang dulu selalu ada untukku terasa hilang, karena kalian selalu bersama. Biar kuberitahu, kau tidaklah lebih dari seorang jalang Amerika, yang dibawa oleh Marc ke sini!" sembur Carolina dengan sinisnya, meski nada dia bicara terdengar pelan. "Aku sangat puas melihat berita Marc, ternyata selingkuh darimu!"

Tawa setannya kembali menggema di ruang telingaku. Otakku seketika memanas. Kepalaku terasa ditusuk berkali-kali dengan benda tajam nan bekarat. Sakit sekali.

Kemarin Marc yang mengataiku jalang, lalu sekarang penggemarnya?

Aku melepaskan tangan Carolina dengan sedikit kasar, lantas berkata dengan menahan jengkel, "Dengar. Dengarkan aku baik-baik. Hubunganku dengan Marc bukanlah urusanmu. Aku tidak merasa diselingkuhi, karena kami memang sudah putus sejak seminggu lalu," dustaku—mencoba mengembalikan harga diriku yang nyaris tidak ada di hadapan wanita jahat ini. "Kurasa, memang benar. Tuhan yang selalu tersenyum, malaikat yang menemani. Tapi, yang iri justru setan dan jin."

Aku tersenyum lagi, membuat wajahnya marah memandangiku, terlihat dari bagaimana dahinya mengerut dengan kedua alis.

"To be a fangirl is hard. You can be his fan, but not his girl," kataku pada akhirnya. Tak perlu menunggu lama, aku pun langsung jalan keluar dari toilet.

"Lá perra!" umpat Carolina, yang artinya jalang.

Kubawa langkah seribu untuk menjauh dari toilet. Otakku sungguh belum habis pikir melihat tingkah laku Carolina, yang tiba-tiba menyerangku seperti itu.

Apa kecintaannya pada Marc, membuat dia membenci semua wanita yang dekat dengan Marc? Yang benar saja. Bahkan, dia tidak memiliki hak untuk mengatur Marc, lantaran Marc tidak seinci pun mengenalnya.

Bad Reputation [COMPLETED]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang