44. Thinking out Loud

863 160 31
                                    

Aku membanting diri pelan ke atas ranjang. Badanku sudah terasa pegal, lantaran baru selesai mencuci pakaianku dan Ed, yang sudah menumpuk sejak minggu lalu, serta menyapu dan mengepel seluruh lantai ruangan. Kemudian, menata isi kulkas yang nyaris kosong sejak empat hari lalu, dan sepulang kantor tadi baru kubeli di supermarket.

Meong...

Menoleh ke arah kiri, nampak Mail menyusulku masuk ke kamar dan langsung loncat ke arahku. Dia menggerak-gerakkan bulu halusnya tepat di lenganku. Aku tersenyum melihat kelakuannya. Jujur saja, dialah pengalih perhatian terbaik, ketika pikiranku selalu diliputi oleh keadaan Marc yang masih terbaring di rumah sakit.

Sudah dua hari ini aku tidak mengetahui perkembangan keadaan si berengsek satu itu, lantaran aku terus-menerus menghindari telepon dari Alex, yang memintaku untuk menjenguk Marc lagi. Untuk beberapa alasan, aku memang salah sudah memberi dia harapan di saat diriku belum siap, jika harus kembali bersamanya.

"Hey, tidakkah kau merindukan Marc? Doakan dia cepat sembuh," ujarku pada Mail, yang hanya mengeong—entah apa maksudnya. Aku terkekeh geli.

Mengapa pula aku bertanya hal bodoh seperti itu pada Mail? Bahkan, Marc saja tak pernah memperlakukannya baik.

Oh, ya Tuhan, aku harus berhenti memikirkannya.

Napasku berembus kasar. Tanganku menyisir bulu kepala Mail saat matanya celingak-celinguk ke segala penjuru ruangan. Kemudian, kuraih ponsel di atas nakas untuk menelpon Ed yang belum pulang kerja. Bahkan, jam pun sudah menunjukkan pukul tujuh kurang, yang berarti sudah hampir lewat dua jam dari waktu pulang kerjanya.

"Kau di mana?" tanyaku, ketika telepon sudah tersambung dan mendengar hentakkan musik begitu keras di sekitar Ed. "Ini sudah hampir jam tujuh, sebentar lagi kita harus pergi ke tempat motor yang akan kau beli."

"Y—ya, Adel, aku akan pulang pukul sebelas nanti, karena ada perayaan ulangtahun di sini," ujar Ed, diiringi suara musik perlahan menjauh dari seberang telepon. "Aku diminta bekerja sampai malam oleh bosku. Salah satu pelayannya tidak bisa masuk dan aku harus menggantikannya."

Aku memutar bola mata, tiba-tiba dilingkupi perasaan kesal. "Kau hanya bekerja paruh waktu. Artinya, kau tidak bekerja sampai malam. Kau pun tahu, aku dan Horan akhir-akhir ini disibukkan oleh proyek iklan baru kami, dan malam ini waktu yang kita janjikan untuk me—"

"Oke, oke, aku tahu, tapi ini mendadak dan aku tidak bisa menolak. Lagi pula, aku akan dapat bonus malam ini. Jika kau keberatan, berikan saja alamatnya padaku, biar aku sendiri yang pergi ke tempat motor itu besok sore. Bye, Adel!"

Menarik ponsel dari telinga, aku mendengkus kesal, karena Ed sudah mematikan sambungan telepon kami. Bahkan, belum sempat kekesalanku berangsur normal, ponsel dalam genggamanku justru berdering dan menampilkan nama Horan di layar.

"Halo," sapaku.

"Sudah siap? Aku akan menjemput kalian sebentar lagi."

"Ed tidak bisa ikut. Dia mendadak bekerja sampai malam."

"Oh, baiklah, aku akan menjemputmu. Sampai jumpa."

Buru-buru Horan menutup sambungan telepon kami. Dia tidak memberiku kesempatan untuk menolak ajakannya pergi malam ini tanpa Ed ataupun Kenny.

Tanpa berpikir panjang, aku melepas Mail bermain sesuka hatinya di atas ranjang, barulah bangkit untuk segera mandi.

***

Aku merekatkan mantel. Cuaca malam ini sangat dingin, lantaran sejak sore tadi hujan lebat sempat turun dan beberapa menit lalu baru redah. Mataku terus mengamati jalanan basah, setelah aku dan Horan selesai melihat motor yang akan kubelikan untuk Ed, pun aku sudah melakukan transaksi jual-beli dengan pemilik motor itu.

Bad Reputation [COMPLETED]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang