69. One Last Time

887 159 146
                                    

Soundtrack for this part:
One Last Time - Ariana Grande
Little White Lies - One Direction

Oh, Adel, matilah kau.

Batinku merutuki—merasa begitu frustasi, saat layar ponselku menampilkan panggilan video dari Marc. Namun, tanganku hanya diam—enggan menyentuh warna hijau di layar, karena inilah pilihan terbaik dan terakhir. Lantas, kumasukkan lagi ponsel ke dalam tas, setelah mengaktifkan silent mode.

"Kau baik-baik saja? Siapa yang meneleponmu?" tanya Horan di sela kegiatannya menyetir.

Aku memutar bola mata—merasa jengah akan pertanyaannya. Sejak awal dia pasti sudah tahu, bahwa aku tidak pernah baik-baik saja berhadapan dengannya, setelah dia menjahatiku. Untuk beberapa detik, aku pun bergeming dan hanya mengamati jalanan sekitar nampak sangat sepi nan gelap.

"Tidak. Akan ke mana kita? Mengapa jalanan ini sangat sepi?!" sentakku spontan pada Horan.

Sedari tadi kesunyian begitu membentang di antara kami. Kulihat mobil melewati laut yang tak jauh dari jalanan, bahkan mataku bisa melihat jelas deburan ombak tenang. Ragaku memang di sini, namun pikiranku justru melayang jauh di Madrid—aku takut dan merasa bersalah pada Marc di lain tempat.

Tidak ada sahutan apa pun dari Horan, ini membuatku harus menahan kepalan tangan untuk tak menoyor kepalanya. Tak lama kemudian, dia pun menepikan mobilnya di bahu jalan—dekat sebuah bar. Aku merasa familiar dengan tempat ini dan ingatanku seolah membawaku pada satu kejadian.

"Adel, dengar...."

Horan kembali berkata. Aku bisa lihat bahwa dia sedang memandangiku dengan tatapan menyelidik, kendati keadaan di sekitar minim penerangan.

"Aku tahu kau kecewa padaku, maka dari ini aku ingin minta maaf."

Pikiranku mendadak teralihkan dari Horan, mengingat lagi ternyata ini tempat di mana aku dan Marc pernah bertengkar sebelum kami sempat putus dulu.

Oh, sialan. Mengapa pula aku harus kembali ke tempat ini lagi?

"Bisakah kau tidak berbasa-basi?" tanyaku—menahan geram pada Horan. "Aku hanya mau surat perjanjian asli Marc yang kau curi. Aku berada di sini denganmu karena itu. Aku sudah menahan diri selama satu minggu ini menghadapi segala kesintinganmu!"

"Dengar, surat perjanjian itu tidak ada di aku," Horan menyalakan lampu di dalam mobil dan mengeluarkan selembar kertas dari laci dashboard. "Ini hanyalah lembaran salinannya, karena surat aslinya ada di Carolina. Aku akan jujur padamu tentang apa yang sebenarnya terjadi."

"Are you kidding me, Horan?!"

Mataku menjereng tak percaya akan penuturannya. Dengan sigap kurampas paksa kertas di tangannya, lalu meneliti tepat di bagian tanda tangan Marc dan Audrey, serta hanya mengandalkan penerangan dari senter ponselku. Benar saja, ini kertas salinannya.

"Kau penipu! Aku tahu, kau yang menyembunyikannya! Aku di sini untuk itu. Mengapa kau malah mempermainkanku?!"

Aku menyentak lagi. Sungguh, aku menahan gumpalan lava panas yang sedari tadi bergumul di kepalaku untuk tak menyembur keluar. Namun, Horan memang selalu senang menguji kesabaranku.

"Tidak, aku berkata yang sebenarnya. Sejak awal, surat itu memang berada di Carolina dan aku hanya menyimpan salinannya untuk menakutimu. Dia yang merencanakan ini semua. Aku—aku tidak bermaksud merusak pertemanan kita. Aku melakukan ini semua karena...," Horan membisu sejenak dan nampak mukanya tegang, lantas dia melirikku dari balik bulu matanya dengan raut sedikit cemas. "dia hamil, lebih tepatnya aku sudah menghamili dia. Aku merasa bersalah, karena dia berniat menggugurkan kandungannya, tapi itu semua bukan sepenuhnya salahku."

Bad Reputation [COMPLETED]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang