72. Irony

761 126 60
                                    

Soundtrack for this part:
Long Way Down - One Direction
All You Had To Do Was Stay - Taylor Swift

"Diam di sini. Aku akan menguliti kalian berdua, karena sudah membawa berita buruk!" seruku pelan pada makhluk pengganggu, yang masih duduk manis di sofa sebelahku.

"Masih untung kami berdua yang mendatangimu, bukan wartawan yang jelas akan mengorek informasi terkini tentang dirimu."

Aku menahan diriku untuk tidak menghantam kepala Alex dengan sesuatu. Sungguh, dia semakin menjengkelkan dan membuatku sedikit takut. Tanpa berlama-lama, aku beranjak dari sofa, menaiki tangga untuk menyusul Adel di kamar. Aku tahu dia pasti kembali kecewa dengan perangaiku yang satu ini, terlebih aku tidak memberi tahunya.

"Marc, ada satu yang belum kuberitahu padamu."

Panggilan Jose membuatku berhenti sejenak di ujung tangga, aku menundukkan kepala untuk melihatnya di bawah.

"Audrey sudah lebih tahu beritanya dari semalam, sebelum berita di koran ini beredar. Dia mengirimiku email, dan ingin bertemu denganmu."

Selama beberapa detik, aku diam mematung di tempat. Perasaan takut dan bersalah perlahan mendominasi diriku, dan aku benci harus kembali berhubungan dengan jalang itu.

Aku langsung meninggalkan mereka, tanpa menyahuti ucapan Jose. Memasuki kamar, Adel tidak ada di dalamnya, hanya ada Mail yang selalu menyendiri di dalam kandangnya. Entah apa alasan Adel mengajaknya ikut masuk ke dalam kamar. Lantas, aku dengar suara rintihan di dalam kamar mandi. Aku menyusulnya, dan benar saja, dia tengah memuntahkan isi perutnya di wastafel.

"Kau sakit?" Aku sedikit panik. Kupegangi tengkuk Adel untuk membantu rambut panjangnya tidak jatuh melalui wajah. "Apa yang perlu kulakukan?"

Dia masih ingin memuntahkan isi perutnya. Namun, tidak ada lagi yang keluar. Dia nampak mual. Kuperhatikan wajahnya memerah, yang mana ini membuatku tidak nyaman. Lalu, kutepuk punggungnya beberapa kali, mungkin bisa sedikit membantu. Tiba-tiba, raungan suara Mail mengeong keras, membuatku mencebik jengkel.

"Fuck off, Mail. Ibumu sedang sakit, berhenti membuat suara!" bentakku, berharap dia mendengar dan mengerti apa kataku. Namun, dia tidak mengindahkanku karena terus mengeong.

Beberapa detik kemudian, Adel mendongak, sembari membersihkan mulut dan hidungnya, napasnya terdengar memburu.

"Kau baik-baik saja?" Mengabaikan suara Mail, aku beralih memberikan tisu pada Adel, menatap wajahnya yang terlihat masih marah.

"Menjauh dariku, Marc." Pun akhirnya, dia berucap dan mengelap wajahnya yang semakin merah. Sementara, tangan kirinya memegangi perut.

"Sayang, maaf. Bukankah kita impas?" tanyaku pelan. Aku mengikuti Adel keluar dari kamar mandi. "Maksudku, kau juga membohongiku dengan diam-diam keluar bersama keparat pirang itu." Aku menahan diri untuk tidak meledak marah, sebab ini membuatku berpikir dia membela Koran, bukan diriku. Apalagi mendengar kata-kata yang tidak seharusnya dia ucapkan tadi.

"Marc, cukup, oke? Kebohonganmu dan kebohonganku adalah kasus yang berbeda. Kau tidak bercerita padaku, bahwa kau memukulnya, dan kau tahu itu adalah perbuatan ilegal. Tidakkah kau berpikir, bagaimana keadaan dia, setelah kau memukulnya? Bukankah selama ini kau pandai menyembunyikan privasi dan semua sisi gelapmu? Lantas, mengapa kau mendatanginya dan memperlihatkan semua itu padanya?" sahut Adel. Tatapannya sengit, tajam dan marah padaku, saat kami duduk berhadapan di sisi ranjang.

Seketika, perasaan tidak nyaman menyeruak dalam diriku, mendengar kebenaran ucapannya. Apa yang kuperbuat pada Koran mungkin terlihat tolol seperti kata Alex tadi.

Bad Reputation [COMPLETED]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang