14. Blank Space

1K 210 71
                                    

"Nah, ini kedai milik Mamang Shawn. Aku selalu makan bersama Kenny di sini. Besok saat dia sudah masuk, kita bisa makan siang bersama."

Aku mendengar penjelasan Patrick dengan mengulas sebuah senyuman, ketika kami baru tiba di sebuah kedai yang terletak tepat di seberang depan kantor.

Akhirnya, ada juga yang menyelamatkanku dari kebosanan berada di kantor sejak pagi tadi. Tidak ada pekerjaan untuk hari ini, karena Patrick hanya mengenalkanku pada karyawan lainnya, mengajakku berkeliling melihat ruangan kantor, serta memperlihatkanku beberapa iklan yang sudah kantor buat.

"Aku akan sangat senang mendapat teman baru di sini, dan tidak sabar bertemu dengan Kenny," kekehku.

Biar kuperjelas lagi, Kenny adalah Copywriter di kantor, dan kebetulan hari ini dia tidak masuk. Aku hanya mendengar cerita tentangnya dari Patrick sudah sejak perkenalan tadi pagi.

Untuk beberapa menit yang panjang, kami menunggu pesanan kami datang, sembari mendengar celotehan lain Patrick memberi tahuku tentang beberapa proyek iklan yang kantor buat dalam dua bulan terakhir. Di tengah perbincangan kami, tiba-tiba dia menoleh ke arah pintu, membuatku mengikuti arah pandangnya, mendapati sosok Carolina—perempuan yang menelponku untuk wawancara—memasuki kedai dan hendak menuju tempat pesanan.

Tersadar akan keberadaanku dan Patrick, dia pun berhenti di tempat. Ekspresinya datar, membuat siapa pun yang melihatnya mungkin akan langsung berspekulasi, bahwa dia seorang yang angkuh dan arogan.

"Hey, Lina, kau tidak mau bergabung dengan kami?" tanya Patrick.

"Eh, kurasa tidak," Carolina membuka tasnya sesaat dan kembali melihat kami. "Astaga, dompetku ketinggalan, aku tidak jadi makan. Kalian lanjut saja." Kemudian, dia berlalu begitu saja dari hadapan kami, keluar dari dalam kedai.

Aku merasakan tatapan tidak suka, yang dia lemparkan padaku sejak Patrick mengenalkanku di kantor pagi tadi. Pun kini, kuperhatikan bola mata Patrick mengikuti kepergian Carolina, hingga wanita itu menyebrangi jalan menuju kantor. Kebetulan, dinding kedai terbuat dari kaca transparan, membuat mataku dengan mudah melihat langsung ke arah jalanan di luar kedai.

"Aku sudah menyukainya sejak setahun lalu. Tapi, dia selalu menolak dengan halus perasaanku. Kau tahu? Dia seorang penggemar fanatik Marc Márquez. Beberapa kali dia sering membuat alasan tidak masuk kerja, hanya untuk nonton MotoGP di Valencia," cerita Patrick, tanpa ragu dengan seulas senyum tipisnya.

Seorang pelayan pun datang mebawakan pesananku dan Patrick, bersamaan dengan dahiku yang refleks mengernyit, ketika mendengar nama Marc disebut. Hal ini sungguh membuatku sedikit tergelitik, bagaimana bisa dia begitu mudah menceritakan hidupnya padaku—orang yang baru dikenalnya empat jam lalu?

"Tolong, tanyakan pada Marc, apa resep ketampanannya? Aku merasa tersaingi olehnya. Lina terlalu menggilai pria yang sudah memiliki kekasih."

Patrick tergelak. Aku tidak tahu, dia memang sedang membuat lelucon, atau justru menertawai kisah cintanya yang terdengar mengenaskan.

"Maaf, aku tidak mengerti arah pembicaraanmu, Tuan Patrick," kataku, berusaha mencerna informasi tidak pentingnya itu.

"Panggil saja aku Horan, itu lebih enak didengar. Aku tahu, kau ini kekasih Marc Márquez. Mungkin kalau boleh menebak, pasti dialah alasanmu pindah ke sini, 'kan?"

Aku ingin memutar bola mata. Tapi, kuurungkan, karena itu tindakan tidak sopan. "Maaf, Tuan Horan, aku lebih senang dikenal karena diriku sendiri sebagai Adelicia, daripada dikenal karena kekasih Marc. Tentang Carolina mengidolakan Marc, itu bukanlah urusanku, siapa pun boleh mengidolakannya," sahutku, tanpa berniat menyahutinya tentang kepindahanku ke Barcelona.

Bad Reputation [COMPLETED]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang