15 - Okulis

96.5K 11.5K 1.7K
                                    

"Kenapa semua orang jadi aneh sejak kemarin?"

Mata Basil langsung teralih dari lembar kertas buku kekuningan di tangannya sesaat setelah Risa bicara. Hari ini adalah hari ketiga Risa berada di rumah sakit—meski tidak familiar, mereka semua sepakat menyebut ruangan tempat Risa berada sebagai rumah sakit. Luka-lukanya sudah membaik. Secara fisik, gadis itu dipastikan telah mampu beraktivitas seperti biasanya pada akhir minggu ini, tetapi secara psikologis... entahlah. Basil tidak bisa menebak bagaimana suasana hati Risa sekarang karena gadis itu lebih banyak diam. Namun dia mengerti kalau Risa butuh waktu untuk berpikir dan menata perasaannya, jadi Basil memilih diam sambil tetap menemani Risa di kamar perawatannya saat dia memiliki waktu luang.

"Apanya?"

"Nggak usah pura-pura nggak tau gitu, Sil."

Basil melepas kacamata bulat yang bertengger di batang hidungnya. Well, mengenai itu, sebetulnya mata Basil masih berfungsi dengan sempurna dan dia bisa membaca tulisan berukuran kecil sekalipun tanpa kacamata. Tapi tentu saja, karena Risa berpikir cowok berkacamata culun seperti Harry Potter adalah cowok yang seksi, mau tidak mau Basil harus mengenakannya sebagai ajang tebar pesona.

"Gue emang nggak ngerti."

"Tiba-tiba aja, gue jadi pusat perhatian semua orang." Risa mendengus seraya melipat tangan di dada. "Mulai dari Kepala Sekolah. Orang tua Nedia. Bahkan cewek rambut nenek itu pun tau-tau datang dan bilang dia mau membesuk gue. Ini aneh."

"Mereka peduli sama lo. Kenapa lo harus merasa aneh?"

"Nggak. Mereka nggak peduli sama gue. Mereka peduli sama power yang Nedia kasih buat gue." Risa memutar bola matanya, ekspresi jengkel tergambar jelas di wajahnya. "Konyol, karena sejujurnya, gue bahkan nggak tau bentuk Arx itu seperti itu. Gue masih merasa diri gue seratus persen manusia dan gue nggak menunjukkan tanda-tanda gue punya power."

"Lo pasti punya." Basil menyahut seraya memasang lagi kacamata bulatnya, lalu kembali membaca deretan kata yang tertera di lembaran bukunya. Seperti hari-hari kemarin, Basil menenggelamkan dirinya dalam literatur tentang lunarkinesis, meski sebetulnya, belum bisa dipastikan juga kemampuan supernaturalnya adalah kemampuan itu. "Lo hanya butuh waktu untuk memunculkannya."

"Lo terlalu yakin." Risa mencibir.

"Kalau lo nggak punya kemampuan khusus, lo nggak akan ada di sekolah ini sekarang, Risa." Basil membalas, lalu suaranya memelan ketika dia menyambung. "Dan kalau lo nggak istimewa, Nedia nggak akan mempercayakan semuanya pada lo."

Risa tidak tau sejak kapan nama Nedia bisa membuat perasaannya jatuh berantakan seperti baru saja diterjang oleh luapan air bah. Gadis itu menghela napas, menunduk untuk memandang kuku-kuku jarinya yang patah. Masih ada memar tersisa disana, warnanya mulai memudar menandakan jika memar itu akan segera sembuh. Risa menggigit bibir, berusaha keras menahan diri supaya tidak menangis. Semua ini terlalu dini untuknya. Segalanya terlampau berat untuk dia tanggung. Dan di atas segalanya, penyesalan terbesar Risa adalah sikapnya yang tak pernah benar-benar menganggap Nedia sebagai teman sejak awal.

Bodohnya, dia bahkan sempat berpikir yang tidak-tidak tentang Nedia.

"Berhenti menunjukkan ekspresi wajah seperti itu."

Risa menghela napas, membiarkan oksigen yang masuk menyakiti paru-parunya. "Kenapa?"

"Karena lo jadi terlihat seperti Risa yang nggak gue kenal." Basil menutup bukunya, kemudian mengulurkan tangannya dan meraih jari-jari ringkih Risa ke dalam genggaman tangannya tanpa sadar. "Gue sudah bilang, lo nggak akan pernah sendirian. Lo punya gue disini. Atau, apa itu belum cukup bikin lo berpikir kalau masih banyak yang bisa lo perjuangkan?"

NOCEUR: LIGHTSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang