24 - Strawberry

89.4K 11.3K 1.7K
                                    

Luka tak memberi Risa waktu untuk duduk sejenak dan membiarkan makanan yang baru saja dia makan turun dengan sempurna ke perut. Sesaat setelah Risa menandaskan potongan terakhir ketupat dalam piringnya, cowok itu langsung beranjak dari bangku. Matanya melirik pada arloji yang melingkari pergelangan tangannya, lantas dia berkata begitu saja secara sepihak tanpa merasa perlu menanyakan kesediaan Risa.

"Kita kudu cabut sekarang."

"Ke mana?"

"Stadion."

"Mau ngapain?"

"Ngegosokin kursi stadion pake parfum Jo Malone."

Risa mendengus. "Bisa nggak sih sarkasme lo itu dikurangin sedikit aja?"

Luka memiringkan wajahnya, menatap Risa dengan salah satu alis yang diangkat. "Bisa nggak sih kelemotan lo itu dikurangin sedikit aja?"

"Oke. Gue nyerah."

"Bagus, karena gue juga lagi nggak mau berdebat panjang lebar disini sambil ditonton sama abang-abang ketoprak." Luka mendengus. "Butuh lima belas menit untuk sampai ke tempat yang tadi gue maksud. Itu juga kalau nggak macet."

Risa langsung menyindir. "Gue nggak tau kalau serpent juga bisa khawatir kejebak macet."

"Gue bisa aja berteleportasi kayak salah satu anjing penjaga kesayangan lo yang galaknya kayak bulldog itu, tapi sori, nggak deh. Power gue terlalu berharga untuk dibuang-buang demi kepentingan lo yang bahkan nggak tau tata-cara kabur dengan benar."

"Buset, udah kayak ujian praktek kelulusan sekolah agama aja pake tata-cara segala."

"Haha. Lucu."

Risa melotot. "Gue senang gue gagal bikin lo ketawa. Males banget deh bikin orang kayak lo senang. Cemberut aja terus nggak apa-apa. Biar cepet tua terus muka lo cepet jelek."

"Beraninya lo ngomong kayak gitu ke—"

"Ke siapa?"

"Luka Orion Chevalier Diwangka." Luka melipat tangannya di dada, memandang pada Risa dengan tatapan paling merendahkan yang dia punya. "The strongest prodigy from The Diwangkas. Mantan pianis personal Ratu Elizabeth II. Pemilik tiga elemen sekaligus. Pemilik dual-Arx dengan rekor korban sejumlah 888."

"Dual—apa tadi? Lo ini orang apa HP Cina?"

"Terserah lo mau ngomong apa, yang jelas lo harus tau kalau kita ini nggak selevel."

"Terus kalau gitu, kenapa lo mau jadi proctor gue?"

Luka menyipitkan matanya. Dia belum pernah bertemu dengan seseorang sekeras kepala dan sepembangkang Risa sebelumnya. Cewek itu selalu punya cara untuk membalikkan kata-katanya. Jelas menyebalkan, karena bahkan Lara Diwangka, saudari kembarnya, tau batasan saat berdebat dengan Luka. Tidak ada seorang pun yang berminat membuat seorang Luka merasa kesal—bahkan Denzel atau Novel yang hobi menjahili dan bergosip tentang orang lain. Bukan berarti mereka takut pada Luka, hanya saja mereka tau persis siapa Luka Diwangka dan apa yang bisa dia lakukan.

Namun tentu saja, Luka tidak bisa berdebat dengan Risa disini—terlebih melakukan tindakan ekstrem seperti melemparkannya ke udara atau melukainya sampai berdarah.

"Jangan buang-buang energi lo, karena apa yang akan lo hadapi setelah ini cukup berat. Bukan untuk standar serpent, tapi untuk standar... manusia."

Risa mendesis saat Luka mengucapkan kata terakhir dengan penuh penghinaan. Tetapi cewek itu tidak lagi membantah, karena dia tidak ingin menjadi tontonan sekumpulan orang yang baru saja menyudahi kegiatan car free day mereka. Setelah membayar makanan yang dia pesan sambil mengucapkan terimakasih, Risa langsung mengekori langkah Luka. Ternyata, Luka betul-betul memilih cara yang sangat beradab untuk pergi ke tempat yang dipanggilnya stadion—yang tidak lain dan tidak bukan adalah Stadion Gelora Bung Karno. Mereka mengendarai taksi menuju tempat itu. Luka yang membayar, dengan selembar uang dari dompetnya yang gemuk.

NOCEUR: LIGHTSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang