Basil kenal beberapa orang yang menyukai sunrise hingga mereka rela meninggalkan kasur saat langit masih gelap dan berdiri sambil dikecupi dinginnya udara hanya untuk melihat momen matahari naik dari ujung paling timur cakrawala. Basil sependapat dengan mereka dalam beberapa sisi tentang sunrise, namun tidak setuju pada beberapa sisi yang lain. Langit saat matahari baru terbit memang indah, hangat dan jingga seperti lukisan yang dicipta oleh alam, namun seumur hidupnya—sebagai Basil Arnawarma, karena Basil tidak tau apa-apa tentang Benji Agnimara—sunrise yang pernah dia saksikan mampu dihitung dengan jari.
Basil tidak suka suasana yang melingkupi semesta pada pagi buta sebelum hari dimulai. Pada waktu-waktu tersebut, dunia sedang lelap dalam senyap dan kamu jadi satu-satunya yang terbangun, ditelan oleh dinginnya sepi. Segalanya terlupa. Apa yang terpikir olehmu hanya dingin, sepi dan kesendirian. Basil bukan pencinta sepi, apalagi gelap. Dia sudah cukup puas merasa kesepian hampir sepanjang eksistensinya karena dia tidak pernah merasa dia punya teman.
Hari ini adalah salah satu hari di mana Basil terperangkap dalam momen yang tidak dia sukai.
Obrolannya dengan Alka membuatnya susah tidur dan terbangun saat fajar. Langit masih gelap di luar, tetapi dari jam yang tersemat di dinding kamar tempatnya berada, Basil tau hanya butuh sedikit waktu bagi matahari untuk menyembul malu-malu diantara dua bukit di ujung timur sana. Udara kamar terasa pengap, membuatnya memilih berjalan keluar dan berdiri di teras tanpa alas kaki. Matanya memandang ke kejauhan, pada kemerlip kunang-kunang yang terbang menjauh diantara ranting pepohonan yang mencuat. Perlahan, pandangan matanya memburam oleh air mata.
"Sudah lama sekali."
Sebuah suara yang terdengar tiba-tiba membuat Basil menoleh. Dia mengenali orang itu, tapi memilih tetap diam. Orang itu balik menatapnya, lalu tertawa kecil dengan kesan muram.
"Gue boleh tanya sesuatu?"
Basil tidak menjawab, masih berdiri kaku sambil menatap ke kejauhan, meski tidak jelas apa yang dia tatap.
"Gue anggap itu berarti 'boleh'." Denzel tertawa lagi. "Apa lo akan menangis sebentar lagi?"
"Laki-laki nggak menangis."
"Seseorang yang gue kenal pernah bilang, menangis itu hak semua orang. Laki-laki atau perempuan. Sama aja. Karena kita tercipta dengan perasaan. Maka wajar kalau kita menangis saat situasi mendorong kita untuk menangis."
Basil mengernyit. "Seseorang yang tolol."
"Seseorang yang tolol." Denzel mengangguk setuju. "Seseorang yang tolol dengan nama Benji Agnimara."
Punggung Basil menegang. "Gue sudah mendengar nama itu beberapa kali dalam waktu kurang dari 24 jam."
"Kalau begitu, lo seharusnya tau apa artinya."
"Gimana gue bisa tau kalau bukannya penjelasan, gue justru dipandang seperti buronan yang melarikan diri?" Basil menatap Denzel dengan getir. "Alka bilang, dia bukan orang yang punya cukup kesabaran untuk menjelaskannya pada gue. Lalu siapa lagi yang akan menjelaskan? Risa nggak tau apa-apa tentang ini. Dan proctor gue? Gue sendiri nggak tau bagaimana keadaannya meski orang-orang bilang dia akan baik-baik aja. Ini juga menyiksa gue. Ini juga membuat gue bingung. Tapi kenapa gue seperti jadi pihak antagonisnya disini?"
Denzel mendengus pelan.
"Kalau lo mau mengatakan sesuatu yang sama kayak Alka, saran gue, mending lo pergi dari sini."
"Gue bukan Alka. Jadi, gue nggak akan bicara seperti Alka." Denzel berjalan mendekati Basil, lalu mengulurkan lengannya. "Give me your hand."
KAMU SEDANG MEMBACA
NOCEUR: LIGHTS
Фэнтези[Book One: Completed] (sebagian chapters diprivat untuk followers, follow untuk membaca) Ketika kamu tiba-tiba terlempar ke dalam sebuah dunia di mana kemampuan magis jadi nyata dan keabadian bukan hanya dongeng belaka, apa yang akan kamu lakukan? u...