Basil bukannya tidak menyadari bahwa setelah peristiwa yang terjadi di Gomun beberapa waktu lampau, ada cukup banyak orang di sekolah yang menjauhinya. Sebagian menjauhinya secara terang-terangan, beberapa orang diantaranya tampak diam-diam menatap takut ketika Basil melintasi koridor. Sisanya tampak lebih seperti menghindarinya, mulai dari Persie yang kini hampir tak pernah sempat duduk mengobrol dengannya seperti dulu—dan Basil curiga, gadis itu juga menjauh pelan-pelan dari Risa—atau Raga yang beralasan sedang sibuk mengurusi siswa yang harus dia bimbing hingga akhir tahun ketiga selesai.
Satu-satunya yang masih bicara dengannya seolah-olah semuanya baik-baik saja hanya Lara, Denzel dan Novel.
Tetapi tidak apa-apa. Basil tidak seharusnya sedih, kan? Dia tidak pernah sedekat itu dengan kebanyakan orang, terutama Persie. Dan lagi, keheningan membantunya lebih fokus. Dia bisa menyusun strategi latihannya dengan lebih baik. Atau seperti sekarang, duduk diam di tepi ranjang kamar asrama sementara dia memasuki Arxnya sendiri. Denzel bisa dibilang bukan proctor terbaik, namun dia memahami Basil dan membantu laki-laki itu hingga Basil mampu memasuki Arxnya sendiri tanpa kendala.
Sepi tidak selalu menyiksa, sama seperti air mata yang bisa membuat pandanganmu lebih jelas.
Sulit untuk tak merasa bersalah soal fakta tentang Denzel yang justru jadi orang pertama yang memasuki Arx Basil.
Atau mungkin bukan?
Entahlah, tetapi hampir seminggu yang lalu, dalam usahanya membantu Basil, Denzel ikut masuk ke dalam Arx cowok itu.
Basil tidak pernah mengira jika dia punya Arx yang indah. Selama ini, Basil sudah sering mendengar cerita tentang Arx yang katanya merupakan tempat paling ajaib dan imajinatif yang bisa dibayangkan seseorang—berdasarkan obrolan sambil lalu seniornya dulu. Namun dia tidak pernah mengira dia punya sebuah tempat inti dalam dirinya menurut Denzel, sama indahnya dengan milik Novel.
Arxnya adalah sebuah tempat yang selalu terbungkus dalam gelap malam. Langitnya biru kelam, dipenuhi oleh taburan ribuan bintang yang berkelap-kelip serupa cahaya lampu sebuah kota. Ada purnama yang bersinar terang diantara ribuan bintang tersebut. Bukan hanya itu, tanahnya tidak benar-benar kosong, meski belum memiliki sebuah pun bangunan. Ada banyak pepohonan yang hanya berupa ranting, dan pada setiap bagiannya digantungi oleh cahaya bulat mirip lampu neon mungil berwarna kekuningan.
"Apa Arx Novel itu Arx yang paling bagus?" Basil ingat dia bertanya seperti itu.
"Paling bagus mungkin nggak. Namun Arxnya adalah jenis tempat yang ingin lo datangi berkali-kali." Denzel menjelaskan. "Nggak ada daratan di sana. Hanya ada bentangan samudra yang biru, juga langit dengan warna yang sama."
"Terus kalau begitu, bangunan Arxnya ada di mana?"
"Di atas awan."
"Agak terbayang."
"Lo harus datang sendiri kesana. Meski gue nggak yakin Novel bakal mengizinkan. Dia pelit banget. Satu-satunya alasan kenapa gue tau seperti apa Arxnya terlihat adalah karena gue menyerangnya dengan okulis sejenak setelah dia bangun tidur."
"Ah, okulis."
Denzel mengangguk. "Okulis. Lo juga memiliki itu."
"Beneran?"
"Buat apa juga gue bohong? Tapi seperti yang lo lihat, apa pun urusan yang lo lakukan dengan shizen itu beratus tahun lalu, itu pasti cukup serius. Nggak ada bangunan yang tersisa di sini. Hanya ruang kosong, yah walau nggak benar-benar kosong karena masih ada pohon-pohon cahaya ini. Tetap, nggak ada jejak yang tersisa tentang masa lalu lo, atau tentang memori terdahulu lo sebagai Benji Agnimara. Lo harus sudah punya sedikit bagian Arx yang terbangun untuk bisa menggunakan okulis."
KAMU SEDANG MEMBACA
NOCEUR: LIGHTS
Fantasy[Book One: Completed] (sebagian chapters diprivat untuk followers, follow untuk membaca) Ketika kamu tiba-tiba terlempar ke dalam sebuah dunia di mana kemampuan magis jadi nyata dan keabadian bukan hanya dongeng belaka, apa yang akan kamu lakukan? u...