Pyromancer - one that has ability to conjure or control fire
*
Rafi sengaja menahan kedua rekannya untuk tidak langsung mendatangi kantor Kepala Sekolah sesaat setelah mereka kembali ke asrama pasca konfrontasi dengan sekumpulan serpent tanpa identitas. Selain mereka terlihat terlalu berantakan untuk bertemu dengan Kepala Sekolah, mereka juga perlu berdiskusi sejenak untuk meminimalisir kesalahan penyampaian informasi. Kevin sempat tidak setuju, karena menurutnya ini bisa dikategorikan sebagai situasi darurat, tapi ketika Fauzan lebih mendukung pendapat Rafi, cowok berambut pirang platinum itu merasa dia tidak punya pilihan lain. Mereka menunggu hingga pagi tiba, lalu dengan sengaja tak menghadiri kelas yang harus mereka hadiri dan justru pergi ke kantor Kepala Sekolah.
Gedung tempat di mana kantor Kepala Sekolah sepi ketika mereka tiba. Seorang perempuan berambut cokelat kemerahan dengan mata hijau gelap menyambut ketiganya, menahan langkah mereka sebelum mereka bisa pergi ke ruangan yang mereka tuju. Seantero sekolah mengenalnya sebagai Kanaya Tedjaratri, seorang perempuan dari Keluarga Tedjaratri yang telah lama menjadi asisten Kepala Sekolah mereka.
"Sudah bikin janji?"
"Belum." Rafi menjawab tanpa ragu. "Tapi ini darurat, sesuatu yang penting yang harus segera diketahui oleh Kepala Sekolah."
Jika siswa lain yang datang dan bicara seperti itu, mungkin Kanaya tidak akan langsung percaya. Namun mengingat yang bicara di depannya adalah seorang Rafi Danendra Hakim, salah satu dari siswa paling berbakat sekaligus petarung paling tangguh di kelas senior juga ketua OSIS yang kerap mengarahkan junior-juniornya mengurus acara sekolah mulai dari yang sepele hingga yang penting, Kanaya tahu dia tidak perlu bertanya lebih jauh.
"Ketuk pintu dulu sebelum masuk."
"Pasti."
"Gue nggak tau kalau lo punya kuasa sebesar itu di gedung ini." Fauzan berbisik sementara mereka menapaki tangga menuju lantai dua. "Coba kalau gue yang dateng. Kayaknya baru liat muka gue aja Bu Naya bakal langsung naburin garam."
"Lo kira lo apaan? Siluman ular?" Kevin mendengus.
"Buat Bu Naya, siswa tukang bikin onar itu sama aja kayak ular buat manusia. Annoying dan menggelikan."
"Berhenti." Rafi berujar sambil menghentikan langkah di depan sebuah pintu yang tertutup, kemudian dia menatap bergantian pada kedua rekannya sambil menatap tegas. "Behave. Well."
"Tell that to his face."
"Easy, man." Fauzan terkekeh. "Gue nggak akan ngapa-ngapain. Yah, paling coba-coba dikit buat ngintip roknya Bu Ivy."
"Fauzan Gastiadi,"
"Santai, Fi. Santai. Lantai tempat kita berpijak sekarang itu terbuat dari kayu. Kalau lo ngamuk disini, bisa-bisa kita bertiga ngejebros ke lantai bawah."
Rafi berdecak. "Jaga tingkah laku lo."
"Iya."
Rafi pun akhirnya mengetuk pintu, yang langsung dibalas oleh gumaman 'masuk' penuh nada wibawa dari dalam. Ketiganya masuk, hanya untuk mendapati Ivy Diwangka—kepala sekolah mereka—sedang duduk berhadapan dengan seorang pria berambut hitam yang Kevin dan Rafi kenal dengan baik. Ada dua cangkir teh dalam gelas keramik di atas meja yang berada diantara mereka, menandakan keduanya mungkin sedang bicara ketika Rafi mengetuk.
"Ada apa, Danendra?"
Entah kenapa, Rafi tidak pernah suka mendengar seseorang menyebutnya dengan nama belakangnya. Kata itu selalu punya kuasa membangkitkan memori terburuk dalam benaknya. "Kami bertiga mengalami serangan semalam."
KAMU SEDANG MEMBACA
NOCEUR: LIGHTS
Fantasy[Book One: Completed] (sebagian chapters diprivat untuk followers, follow untuk membaca) Ketika kamu tiba-tiba terlempar ke dalam sebuah dunia di mana kemampuan magis jadi nyata dan keabadian bukan hanya dongeng belaka, apa yang akan kamu lakukan? u...