26 - Maple

91K 11.5K 3.2K
                                    

Keesokan harinya, mereka benar-benar meninggalkan Jakarta dan bertolak ke Bogor meski jadwal keberangkatan meleset dari perkiraan. Awalnya, baik Luka maupun Alka sependapat untuk berkemas dan pergi di pagi hari. Tetapi ternyata Denzel dan Basil (yang otaknya sudah agak tercemar karena diracuni oleh cowok itu) sudah punya rencana lain; mereka berencana datang ke sebuah acara musik dan menyamar jadi salah satu penonton alay yang memang kerap dipajang di venue untuk memeriahkan suasana. Penyebabnya tidak lain dan tidak bukan, sudah pasti bisa ditebak, adalah Via Vallen seorang yang telah berjaya memikat hati seorang Denzel Mada Lazuardi.

Perdebatan antara Luka dan Denzel tidak bisa dihindari. Mereka bahkan sempat cekcok sengit yang mungkin dapat berakhir ke ajang pertumpahan darah jika saja Risa dan Novel tidak langsung melerai. Itu bukan karena Risa dan Novel peduli pada dua pihak yang akan bertikai, melainkan demi keberlangsungan keamanan masyarakat sekitar. Kalau Denzel dan Luka sampai betul-betul bertarung di halaman belakang, bisa-bisa rumah sewaan mereka rata jadi tanah. Selain mampu membikin bapak penjaga rumah jantungan, kasus luar biasa macam itu juga akan menimbulkan dampak materi dan sosial karena Indonesia tidak segencar Jepang dalam masalah perbaikan. Boro-boro dalam semalam urusan kerusakan dan perbaikan beres, yang ada tanah tempat rumah itu dulunya berada bisa-bisa disulap jadi kubangan kerbau.

Yah, walau Risa tidak pernah benar-benar melihat ada kerbau yang masih suka digembalakan di Jakarta.

Luka dan Denzel pada akhirnya membuat kesepakatan. Denzel boleh datang ke acara tersebut dengan catatan, setelah penampilan Via Vallen selesai dia harus pulang. Poin ini sangat penting, karena Denzel rawan melanjutkan acara dengan kumpul-kumpul bersama Vianisty—yang biasanya berakhir dengan perumusan rencana kerja penghujatan massal di akun media sosial penyanyi dangdut pesaing. Kedua, Basil tidak boleh ikut karena harus membantu yang lain mengemasi barang-barang.

Jadilah, baru kini mereka berada di dalam kereta yang melaju menuju Stasiun Bogor.

Normalnya, kereta akan dipadati oleh orang-orang yang baru pulang kerja. Tetapi jika ada Luka diantara mereka, masalah itu tidak perlu dikhawatirkan. Entah dengan kemampuan magis jenis apa yang dia miliki—mungkin kemampuan pembentuk ilusi yang sama seperti yang dilakukannya dalam insiden kecoak terbang GBK tempo hari—Luka membuat seolah-olah gerbong mereka sudah penuh, membuat tidak ada orang lain disana selain mereka bertujuh.

Risa merasa senang karena tidak harus mabok aroma ketek bapak-bapak berkeringat yang biasa berdiri sambil menggelantungkan tangan pada pegangan yang tersedia, namun di saat yang sama juga ingin cepat-cepat sampai di stasiun tujuan karena tidak tahan pada cara Luka menatapnya.

"Kenapa dengan muka gue?"

Risa sengaja bertanya dengan suara pelan, meski yang lain kelihatannya sibuk dengan urusan masing-masing. Basil sudah jatuh tertidur sambil memegang konsol portable game yang dia bawa dari rumah. Denzel tidak berhenti mengelus dan menatap standee Via Vallen yang sebelumnya dia curi dari venue acara musik yang dia datangi tadi pagi. Alka tidak kelihatan. Konon kata Novel, cowok itu hobi duduk sendirian di atas atap setiap mereka bepergian dengan kereta. Novel sendiri seperti biasa, asyik mengamati udara kosong seolah ada nilai-nilai moral kehidupan yang bisa dia tarik dari sana. Lara tidak tertidur, tapi jelas dia adalah pribadi yang lebih peduli pada warna magenta kuteks di jari-jari tangannya daripada orang lain.

Gerbong itu tidak diisi oleh siapapun selain mereka bertujuh, tapi dari seluruh kursi kosong yang ada, entah mengapa Risa bisa duduk berhadapan dengan Luka—walau posisi mereka tidak sedekat itu karena dipisahkan oleh koridor gerbong yang cukup luas.

"Apanya?"

"Kenapa dengan muka gue sampai lo ngelihatin gue dengan segitunya?"

"Muka lo jelek."

NOCEUR: LIGHTSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang