Sembilan ratus detik.
Benak Luka bergumam sambil jarinya mengetuk pelan permukaan halus meja berlapis pelitur, tepat di samping gelas gelatonya yang belum kosong. Isi gelas itu kini meleleh, membuatnya tidak lagi menggugah selera karena penampilannya yang lebih mirip susu kental. Di depannya, gadis itu masih melahap sisa gelato dalam gelasnya sendiri dengan wajah riang, betul-betul tidak tau bahwa selama sembilan ratus detik belakangan, dia adalah alasan kenapa Luka harus berusaha keras mengurai satu demi satu benang dalam gumpalan kusut di kepalanya.
Sembilan ratus satu... sembilan ratus dua... sembilan ratus tiga...
Napas Luka tertahan sejenak.
Jika dia disuruh menggambarkan kesimpulan apa yang bisa dia tarik setelah berpikir tanpa henti sepanjang lebih dari sembilan ratus detik, hanya ada satu jawaban; Risa adalah kemungkinan setengah persen dari sebuah ramalan cuaca.
Anggaplah, ramalan cuaca mengatakan bahwa kemungkinan besar, hari ini matahari akan bersinar cerah dengan tingkat akurasi hingga sembilan puluh sembilan koma lima persen. Itu artinya, seharusnya, hari ini hujan tidak akan turun karena kemungkinannya hanya setengah persen dibanding seratus. Namun pada kasus tertentu—yang sangat jarang terjadi—setengah persen mampu mengalahkan sembilan puluh sembilan koma lima persen dan menjadikan ramalan cuaca tersebut meleset.
Sama seperti yang terjadi padanya sekarang, gara-gara gadis ini.
Dia seperti setengah persen hujan yang menyusup diantara sembilan puluh sembilan koma lima persen cerah, dan karenanya, sama seperti hujan yang jatuh tanpa rasa bersalah, Luka jatuh untuknya.
Diantara sembilan puluh sembilan alasan bagi Luka untuk tidak menyukainya, satu alasan membuat laki-laki itu melakukan yang sebaliknya.
Satu alasan sederhana; karena gadis itu adalah Risa.
"Es krim tuh dibuat untuk di makan, bukan untuk dipelototin kayak lukisan."
Suara Risa yang terdengar tiba-tiba membuat Luka tersentak, sebelum akhirnya dia mengembuskan napas jengkel.
"Loh, bisa kaget juga rupanya?" Risa terhenyak sejenak, lalu tertawa kecil hingga matanya membentuk sepasang lengkung sabit.
Luka tidak pernah memperhatikannya sebelumnya, namun kini, saat matanya terfokus pada wajah riang milik gadis di depannya, dia mulai menatap pada detil-detil terkecil yang sempat terlewatkan. Pada helai rambutnya yang tergerai membingkai wajahnya. Pada lesung pipi yang tercetak saat dia tertawa seperti sekarang. Pada bahunya yang berguncang.
Dia... cantik.
Luka ingin menampar dirinya sesaat kemudian.
Gue pasti udah gila.
"Ngelamunin apa, sih?"
"Banyak." Luka menyahut. "Salah satunya adalah penyesalan karena gue sudah mengajukan diri jadi proctor buat orang kayak lo."
"Dih, katanya gue sudah melampaui ekspektasi lo!"
"Nggak juga."
"Tapi kata lo—"
"Gue cuma bilang, gue mulai mengerti kenapa sepupu gue mau melakukan sesuatu yang bodoh hanya untuk menyelamatkan lo. Itu artinya, gue hanya lagi mempertimbangkan untuk nggak mengakhiri hidup lo dalam waktu dekat ini. Bukan berarti lo betul-betul sudah melampaui ekspektasi gue. Ujian pertama aja baru minggu depan. Lo masih punya banyak waktu buat gagal."
Risa meniup sejumput rambut yang jatuh di dahinya dengan jengkel. "Berarti sewaktu-waktu, lo masih bisa tetap berubah pikiran ya?"
"Soal apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
NOCEUR: LIGHTS
Fantasy[Book One: Completed] (sebagian chapters diprivat untuk followers, follow untuk membaca) Ketika kamu tiba-tiba terlempar ke dalam sebuah dunia di mana kemampuan magis jadi nyata dan keabadian bukan hanya dongeng belaka, apa yang akan kamu lakukan? u...