23 - Car Free Day

84.6K 11K 1.7K
                                    

Sejak pertama kali mendatangi puri Keluarga Diwangka dan mengabdi pada mereka, sosok yang pertama kali mencuri perhatian Novel, Alka dan Denzel bukan Nedia, melainkan Diwangka Bersaudara. Nedia bisa saja dilahirkan di bawah ramalan tentang sosok terpilih yang akan mengembalikan kedamaian di dunia para makhluk bayangan, namun Luka dan Lara telah menunjukkan bakat yang tak bisa disepelekan bahkan sejak kecil.

Novel masih ingat saat dia dan kedua rekannya baru sampai di muka puri Keluarga Diwangka. Luka yang masih balita sedang duduk sendirian dengan mata menatap dingin pada ujung-ujung ilalang yang menghiasi sudut halaman. Tatapan itu terlihat terlalu serius untuk ditemukan di mata milik anak yang belum lagi menginjak usia lima tahun. Di bawah terpa sinar matahari, mata Luka tampak misterius, sekaligus indah. Cahaya terang membuat matanya terlihat jauh lebih muda, hampir sewarna dengan madu.

Novel tidak tau kenapa, tapi dia mencoba menyapa Luka. Mungkin karena Luka mengingatkannya pada bocah-bocah adik teman-temannya yang sering dia kunjungi sebelum perang melanda dan menghancurkan segalanya. Atau mungkin karena ada sesuatu dalam diri cowok itu yang terasa mirip dengan karakter Novel sendiri.

Novel menghampirinya, menyentuh bahunya dan sebagai balasan, Luka meraih salah satu jari Novel sebelum membantingnya ke tanah berumput.

Mereka bertiga dibuat luar biasa kaget, karena kekuatan seperti itu bukan sesuatu yang lazim ditemukan pada balita, bahkan pada para serpent yang lahir dari keluarga terkuat sekali pun.

Kebetulan, salah satu pengurus puri Keluarga Diwangka melihatnya. Wanita itu menghampiri Novel sekaligus menjadi batas antara Novel dan Luka—yang memandang Novel dengan tatap penuh curiga—sembari meminta maaf. Dia memperkenalkan Luka sebagai sepupu Nedia dan memang dilahirkan dengan bakat yang istimewa. Karakternya pun terhitung 'istimewa', karena Luka selalu bersikap dingin dan benci disentuh, terutama oleh orang asing.

Sekarang, menyaksikan bagaimana Risa melompat dan memeluk leher Novel membuat Novel ternganga. Dia bahkan sampai lupa menggigit apel di tangannya. Denzel sama kagetnya, langsung bangkit dan memasang sikap waspada seakan-akan menduga Luka akan menghancurkan Risa dalam sekali injakan.

"Kelabang! Anjrit! Gue benci banget sama kelabang!" Risa berseru heboh sambil membelitkan kakinya di pinggang Luka dan berpegangan erat pada tubuh cowok itu serupa peserta lomba panjat pinang tujuh belas agustusan.

"Lepasin. Gue. Sekarang."

Risa menggeleng kuat-kuat. Wajahnya kini tampak sangat pucat. Dekapannya pada tubuh Luka kian erat, membuat Luka berdecak sambil menatap sarkastik pada seekor lipan yang kini berhenti bergerak. Mungkin makhluk itu bingung pada reaksi Risa yang sebegitu hebohnya terhadap kehadirannya.

"Nggak mau!"

Luka menatap Risa dengan jengkel. Cowok itu membuka mulut, seperti hendak memaki, tapi dia kemudian mengurungkan niatnya setelah melihat keringat dingin yang bermunculan di dahi Risa.

Sangat konyol, Luka berpikir.

Bagaimana bisa Nedia menyerahkan tanggung jawab besar dan takdirnya kepada cewek yang takut sama makhluk sesepele lipan?

Luka menjentikkan jarinya, membuat lipan malang itu langsung terbakar habis hingga hanya menyisakan abu di lantai kurang dari sedetik. Kewarasan Risa perlahan kembali saat dia menyaksikan lipan itu sudah binasa. Akalnya kembali muncul, membuat wajahnya merona ketika dia sadar akan apa yang sudah dia lakukan. Pelan-pelan, cewek itu melepaskan diri dari Luka, lalu berdeham.

"Um... makasih. Dan... maaf."

"Kecoak. Tikus. Curut. Cicak. Bahkan ular sekali pun." Luka tiba-tiba berkata.

NOCEUR: LIGHTSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang