30 - Proctors

92K 11.3K 3.5K
                                    

Risa terbangun saat lewat tengah malam, dengan selimut terhampar menutupi ujung kaki hingga garis leher. Pelan, gadis itu mengerjapkan mata untuk beradaptasi dengan pencahayaan dalam kamar yang minim. Luka pasti sengaja mematikan lampu besar dan membiarkan lampu tidur berwarna kuning temaram di atas meja berlaci satu di sisi ranjang tetap menyala. Mengerang pelan, Risa meluruskan kedua tangan dan menukar posisi berbaringnya dengan posisi duduk. Dia masih butuh mengedipkan kedua mata beberapa kali, hingga sesaat kemudian dibikin tersentak tatkala menyadari kehadiran Luka.

Cowok itu duduk santai di atas kursi dengan mata menatap lurus pada Risa bertemankan segelas red wine di tangan kanan. Dalam gelap, warnanya mirip darah. Namun itu bukan darah, karena di meja yang berada tidak jauh dari kursi Luka, sebotol red wine yang sudah dibuka tergeletak begitu saja.

"Anjir, lo bikin gue kaget."

"Memang, hanya sedikit cewek yang bisa tetap kelihatan cantik saat lagi tidur."

Risa mengernyit. "Lo ini lagi mencoba memuji atau menghina gue?"

"Oh, sori. Maksudnya, lo nggak termasuk ke dalam sedikit cewek itu."

"Sialan."

"Watch your words." Luka menyesap wine dalam gelas dengan gaya yang Risa kira hanya bisa dia lihat dalam film-film bertokoh utama seorang casanova. "Bagaimana pun juga, teknisnya gue ini seperti guru buat lo."

"Mana ada guru yang ngerepotin muridnya kayak lo."

"Kebalikannya, lo justru lebih sering merepotkan gue."

Luka berdecak, kemudian menjentikkan jarinya, secara ajaib merenggut cahaya dari lampu tidur dan membuatnya berpindah pada lampu besar. Ruangan tempat mereka berada langsung terang-benderang. Respon pertama Risa adalah menyipitkan mata karena merasa silau. Tetapi sejenak kemudian, dia justru dibuat ternganga ketika menyaksikan apa yang bisa dia lihat dari jendela kamar Luka—yang kelihatannya sengaja dibiarkan terbuka.

Hutan yang membentang di belakang sekolah terlihat jelas dari sana, disiram rata oleh cahaya bulan yang bersinar di langit malam yang bersih dari awan. Angin bertiup pelan, menciptakan bunyi khas dari daun yang saling bergesekan. Bersama dengan suara hewan nokturnal yang bersahutan, tercipta simfoni yang memanjakan telinga. Jendela yang tak ditutup membuat udara leluasa keluar-masuk, membawa aroma segar dari tanah basah yang mulai mengering. Tampaknya, saat Risa tidur tadi, hujan sempat turun.

"Ternyata gampang banget bikin lo senang."

Kata-kata Luka membuat Risa menoleh. "Maksudnya?"

"Kunang-kunang. Ayam goreng. Dan sekarang pemandangan hutan waktu malam. Lo ini tipe orang yang bisa dibuat senang pake hal-hal sepele."

"Di tempat gue tinggal, susah banget nemuin kunang-kunang alami. Gue nggak bisa sesering itu makan ayam goreng di restoran fast food dan gue nggak pernah tinggal di rumah yang punya lantai lebih dari dua karena tante gue bukan Bu Dendy. Jadi tolong, jangan samakan gue dengan lo yang sudah terlahir dengan kantong penuh duit."

Luka membawa tepi gelas ke bibirnya, menyesap teguk terakhir winenya dengan mata yang tak lepas terarah pada Risa. Biasanya, jika ditatap seperti itu, Risa akan mengomel. Namun sekarang tidak. Alih-alih terdorong mengomel, pipinya justru terasa seolah tengah dirambati oleh sesuatu yang panas.

"Kenapa lo ngelihatin gue kayak gitu?"

"Karena—"

"Karena gue jelek?! Makasih. Sejujurnya, lo udah terlalu sering bilang kayak gitu. Nggak usah diulang-ulang. Gue mengerti."

"Akhir-akhir ini, gue rasa lo nggak sejelek biasanya."

Risa hampir tersedak. "Hah?"

"Tapi bukan itu alasan kenapa gue ngelihatin lo."

NOCEUR: LIGHTSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang