31 - Cinnamon and Strawberry

89.1K 11.9K 4.3K
                                    

"Kamu nggak perlu kerja part-time disini lagi."

Risa mengernyit saat dia mendengar Grandma berkata begitu, bahkan sebelum dia sempat bicara. Luka yang berada di belakangnya tidak terlihat terkesan atau kaget sama sekali. Wajahnya masih saja sedatar muka danau yang dalam.

"Maksud Grandma?"

"Ayahmu sudah ketemu Grandma. Begitu kamu naik ke kelas tiga, dia setuju untuk mendukung kamu secara finansial walau nggak banyak-banyak banget. Katanya, kamu sudah menunjukkan cukup semangat. Selain itu, kamu perlu fokus menjalani tahun terakhir kamu di sekolah dan nggak akan punya ruang lebih buat mikirin kerja paruh waktu."

"Tunggu, maksudnya apa ya?"

"Ayahmu bakal memberimu uang saku secara cuma-cuma, jadi kamu nggak perlu kerja part-time disini lagi."

"Tapi aku nggak punya rekening dunia serpent." Risa tampak berpikir keras sebelum dia berpaling pada Luka. "By the way, serpent punya bank nggak, sih?"

"Nggak."

"Uang saku kamu akan dititipkan ayah kamu setiap awal bulan di meja lobi gedung asrama kamu."

"Tunggu, itu artinya ayahku tau aku sekolah di mana?!" Risa terhenyak. "Itu artinya, ayahku kenal sama Bu Sugiarto?!"

"Tentu saja."

"Sebenarnya dia itu siapa?"

Pertanyaan Risa membuat senyum lembut Grandma tertarik. "Kamu akan bertemu dengannya jika nanti waktunya telah tiba."

"Buset, kayak lagu Akadnya Payung Teduh aja."

"Intinya, semua udah clear, kan?" Luka memotong. "Kalau udah, gue mau buru-buru cabut dari sini."

"Hng, udah sih, tapi—"

Ucapan Risa terputus ketika Luka menarik lengan bajunya tanpa memberinya kesempatan menyelesaikan ucapannya. Cara Luka memegang lengan bajunya masih sama, serupa orang alergi kucing yang terpaksa membawa seekor kucing dengan memegang lehernya. Tenaga Luka cukup kuat, hingga mau tidak mau Risa hanya bisa membuang napas sementara langkah kakinya bergerak mundur mengikuti langkah kaki Luka.

"Sampai kapan lo bakal narik gue kayak narik kucing begini?"

"Kenapa? Lo mau gue narik lo dengan megang tangan lo?"

"Nggak apa-apa. Itu lebih manusiawi."

Luka melepaskan tangannya dari baju Risa, lalu berbalik dan memandang cewek itu dengan salah satu alis yang terangkat. "Yakin lo siap dipegang di tangan? Terakhir kali aja, waktu gue bangunin lo—"

"Stop." Risa memotong dengan wajah yang kini sudah merah padam. "Mau sampai kapan sih lo ngingetin gue sama kejadian kampret waktu itu?"

"Ternyata sangar-sangar begini, lo tetap cewek, ya."

"Emang lo kira selama ini gue tuh laki-laki?"

"Heran aja. Ada cewek se-nggak tau malu lo." Luka mengedikkan bahu. "Buruan jalan. Ini udah sore dan gue masih harus ngejagain anak bayi makan es krim."

"Gue bukan bayi!"

"Whatever, tapi yang jelas, nggak ada orang dewasa yang bakal menghentakkan kaki dengan pipi digembungkan seperti apa yang lo lakukan sekarang."

Risa bersungut-sungut namun tetap meneruskan langkah. Mereka berjalan beriringan, melintasi jalan yang dibentuk dari batu-batu yang dipadatkan. Suasananya tidak seramai akhir pekan atau saat matahari masih bersinar lebih terang. Senja sudah menjemput, melukiskan semburat jingga di langit yang pelan-pelan menggelap. Langitnya indah, seperti beragam warna cat air dari biru hingga oranye dipadu lalu ditumpahkan di atas kanvas maha luas.

NOCEUR: LIGHTSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang