3 - Lupus Intus

128K 14.1K 2.3K
                                    

Lupus Intus - The Wolf Within

*

Saat Basil terbangun, langit di luar jendela kamar asramanya sudah tampak biru dan terlihat mulai menerang seiring detik yang berlalu. Cowok itu meluruskan kedua tangannya, lalu menguap lebar layaknya seekor kucing sedang melakukan peregangan. Raga, teman sekamar asramanya tidak berada disana. Ranjang tempatnya tidur sudah rapi, dengan seprai pelapis yang ditarik lurus seperti seprai pelapis ranjang hotel yang tak pernah ditiduri. Mungkin Raga sudah pergi keluar dari kamar sejak pagi-pagi buta. Wajar, karena siapa pun tidak akan betah berlama-lama berada dalam satu ruangan dengan Basil yang hobi mengigau saat sedang tidur. Bukan main-main, Basil mengigau seakan dia sedang bermimpi jadi penyanyi seriosa. Suaranya tidak jelek, tapi siapa yang betah mendengar lengkingan suara yang tinggi dari tengah malam hingga menjelang pagi? Selama setahun sekamar dengan Basil, Raga tidak pernah bisa tidur di bawah jam dua pagi dan tidak pernah bangun di atas jam lima pagi.

Selesai melakukan peregangan, Basil beranjak turun dari kasur. Dia berniat untuk pergi ke kamar mandi, tapi belum lagi kakinya menyentuh lantai, pintu kamarnya sudah didorong terbuka dengan keras seperti baru terkena terjangan angin ribut. Melongo, Basil mengerjap beberapa kali ketika mendapati sosok Risa yang berselempang handuk dengan gayung merah jambu berisi sabun, shampo dan sikat gigi serta beberapa helai baju ganti tengah berdiri di ambang pintu.

"Mimpikah aku?"

"Jangan dramatis." Risa mendengus dan melangkah masuk tanpa peduli, tapi lalu dia menghentikan langkah dan menatap tidak percaya pada deretan kolor setengah kering berwarna biru donker dan hitam yang tergantung di tembok. "Gila. Lo jualan kolor?"

"Suka-suka gue, dong. Ini kamar gue."

"Sangat menjijikkan."

"Ngaca dulu. Belek lo yang numpuk itu kalau ditimbang mungkin lebih dari satu kontainer. Belum lagi jejak aliran Sungai Kapuas di rahang lo."

Risa memiringkan kepala. "Sungai Kapuas?"

"Bekas iler lo."

"Alah bacot."

"Mau ngapain lo disini? Tau nggak, siswi nggak boleh seenaknya masuk ke asrama siswa."

"Tadi gue diizinin aja sama ibu-ibu tua yang jaga di bawah."

"Oh ya? Kok bisa?"

"Ibu-ibunya gue kasih ganja."

"Ngaco."

Risa nyengir. "Ibu-ibunya gue kasih poster Siwon Super Junior. Untung aja sempat keselip di koper gue pas gue cabut dari Jakarta. Kata Persie, ibu penjaga asrama anak cowok suka banget sama Siwon. Pucuk dicinta ulam pun tiba, poster Siwon yang tadinya mau gue jadiin tatakan obat nyamuk itu akhirnya berguna juga."

"Ngapain lo disini? Mau ngeliatin gue tidur? Atau lo lagi berpikir melakukan tindakan yang tidak pantas ke gue? Jangan harap ya, Risa. Gini-gini, bangsa Serpent sangat tidak menyukai perbuatan immoral dan termasuk di dalamnya adalah melakukan pelecehan terhadap cowok ganteng."

"Cowok ganteng? Siapa?"

"Gue."

"Lo ini benar-benar over pede." Risa mendesis. "Gue mau numpang mandi."

"Emang kamar mandi lo kenapa?"

"Kerannya nggak sengaja gue patahin. Soalnya airnya nggak mau keluar. Karena gue kalap, maka terjadilah peristiwa tidak pantas. Lo nggak perlu tau. Intinya kerannya patah dan kata Ibu Sugiarto, akses air ke kamar mandi kamar asrama gue diputus dulu sementara sampe kerannya dibenerin. Persie bilang sih mending kita nggak bisa mandi daripada kamar asrama kita kebanjiran kayak Jakarta di jaman gubernur berkumis caplang."

NOCEUR: LIGHTSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang