Gadis itu berbau seperti campuran permen kapas dengan sedikit sentuhan aroma hujan menjelang senja. Mungkin susah buat dibayangkan oleh kebanyakan orang, tapi Basil tidak tau deskripsi lain yang tepat menggambarkan seperti apa rasanya berada sangat dekat dengan Lara. Pipi gadis itu terasa lembut di bawah sentuhannya, dan ketika bibir mereka saling terlepas, Basil merasa hampa. Seperti ada sesuatu yang penting baru saja direnggut darinya tanpa izin.
Mereka saling menatap sejenak. Cokelat terkunci dengan kelabu. Ada beragam emosi yang melintas.
"Gue..."
"Lo wangi."
Basil hampir tersedak mendengar kata-kata pertama Lara. "Apa?"
"Lo wangi." Lara menarik napas panjang seraya memejamkan mata, membuat Basil bertanya-tanya apa yang sudah dia lakukan di masa lalu hingga pantas menyaksikan pemandangan seindah itu pagi ini. "Wangi yang berbeda. Stand out. Nggak seperti kakak gue. Nggak seperti orang lain. Wangi... yang hanya lo yang punya."
"Lara—"
"Sabun... embun... dan nggak tau apa lagi. Sayangnya, gue bukan perfumer." Lalu gadis itu kembali membuka matanya. "Gue suka."
"Lara, soal yang tadi—"
Ucapan Basil tidak terteruskan waktu Lara mengangkat tangannya, membuat cowok itu kontan meringis sambil menutup matanya rapat-rapat. Lara itu tipe orang yang emosinya susah ditebak. Dia bisa saja memuji Basil wangi pada suatu detik dan memukul Basil pada detik berikutnya. Cowok itu sudah bersiap menerima setidaknya satu tamparan, namun ternyata dugaannya salah.
Lara tidak menamparnya, malah justru menyentuh pipinya dengan gerakan halus.
"Siapa lo sebenarnya, hm?"
Basil membuka mata, membiarkan tangan Lara tetap melekat di wajahnya. "Apa... maksud lo?"
"Siapa lo sebenarnya dan apa yang baru saja lo lakukan pada gue?" Lara berdecak, tiba-tiba merasa lucu tatkala menyadari bagaimana kuteksnya yang berwarna merah gelap tampak kontras dengan kulit Basil yang pucat.
"Gue nggak—"
"Kenapa lo mencium gue?"
Basil menarik napas panjang, langsung lupa pada sederetan kata-kata yang sebelumnya sudah siap dia lontarkan. "Gue... nggak tau. Gue hanya merasa harus melakukannya. Gue merasa... gue ingin melakukannya."
Lara memandang Basil dengan lekat, lalu senyum tipisnya tertarik. "Sayangnya, Basil, lo nggak bisa mencium seseorng hanya karena lo ingin."
"Gue tau. Karena itu gue—"
"Karena perasaan gue nggak sesepele itu."
Basil mengerjap. "Perasaan... lo?"
"Lo nggak bisa melakukan apa yang sudah lo lakukan sebelum-sebelumnya pada gue, lalu berharap nggak ada sesuatu yang gue rasakan buat lo. Gue mungkin nggak seperti kebanyakan cewek yang lo kenal, atau berada di sekitar lo. Pada awalnya, bisa jadi lo menganggap gue sebagai monster yang menyebalkan, yang entah gimana ceritanya membuat lo merasa tidak beruntung karena gue akan menjadi proctor lo selama setahun ke depan. Tapi Basil, gue juga sama kayak cewek lainnya. Gue punya perasaan." Lara berujar panjang lebar. "Lo nggak bisa memperlakukan gue seperti ini, lalu berharap gue mengabaikannya."
Basil masih tidak tau harus menjawab apa saat dilihatnya Lara beranjak dari atas rerumputan dan tiba-tiba saja, dia merasa cemas. Tangannya refleks meraih tangan Lara, membuat gerakan gadis itu terhenti seketika.
"Jangan marah." Basil berbisik pelan saat Lara menoleh.
"Lo bilang apa?"
"Jangan marah." Basil mengulangi dengan suara lebih keras. "Lo bisa pukul gue. Lo bisa hukum gue. Tapi jangan marah. Jangan diemin gue. Ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
NOCEUR: LIGHTS
Fantasy[Book One: Completed] (sebagian chapters diprivat untuk followers, follow untuk membaca) Ketika kamu tiba-tiba terlempar ke dalam sebuah dunia di mana kemampuan magis jadi nyata dan keabadian bukan hanya dongeng belaka, apa yang akan kamu lakukan? u...