[2] Karena Ayah

2.3K 109 4
                                    

Dua minggu berlalu begitu saja,
dan sikapku pada Galang masih sama dengan yang kemarin-kemarin.

Sebenarnya aku masih kesal, dipaksa berpacaran dengan orang yang tidak aku suka. Namun, saat aku bersamanya, entah sejak kapan rasanya rasa itu mulai tumbuh di dalam hati dan itu bisa kurasakan lewat fisik, seperti rasa, nyaman.

"Eh! Ngelamun aja! Kesambet setan loh!" ucap Razi mengagetkanku. Aku mendelik ke arah Razi yang cekikikan, "apa sih, ono noh, Setannya pacar lo sendiri yang sekarang ada di samping lo." Ujarku memonyongkan mulut ke arah Vika.

"Enak aja kalo ngomong! Nama gue Prestana bukan Setan." Ucapnya membela diri. "Apa bedanya? Lagian nyebut nama asli lo susah. Enakan nyebut 'Setan'." Ledekku.

"Udah, udah. Kalian ini, ribut melulu, kayak anak kecil aja." Razi mencoba melerai kami.

Razi adalah teman kecilku, kami bersama dari TK sampai SMA. Dan sekarang dia adalah pacar dari salah satu sahabatku, Vika, sejak sembilan bulan yang lalu.

"Lo tumben nemuin gue? Biasanya juga lo kumpul sama anak basket yang lain atau enggak, pacaran sama si Setan." Dia menggeleng, "Ada sesuatu yang harus gue omongin sama lo."

"Apa?"

"Lo percaya cinta yang tumbuh dari rasa nyaman?" tanyanya, aku mengedikkan bahu.

"Lo gak bisa ngerasain itu?" sekali lagi aku mengedikkan bahu. "Peka dikit, Nad. Galang sayang sama lo, lo gak tau aja kalo dia sering ngomongin lo di depan kita-temen sesama basket, sampe bosen gue dengernya." Ucapnya sarkas.

Setelah obrolan antara aku dan Razi di sekolah tadi pagi, aku jadi sama sekali tak berminat berbicara dengan Galang yang sedang makan di depanku.

"Kok makanannya nggak dimakan? Nggak enak ya?" tanyanya. Aku menggeleng.

Sekarang kami sedang dinner di restoran milik Kakaknya. Emang dasar gak modal! Masa dinner nyarinya yang gratisan. Eh tapi tunggu dulu, aku mau dinner sama dia juga bukan dari hati. Tapi karena paksaan dua curut yang memaksaku sehari sebelum hari ini.

"Gak mood. Gue mau pulang!" Ucapku membuatnya berhenti makan. "Tunggu sebentar!" dia menahanku lalu berlari menuju dapur restoran dan kembali dengan dua kantung plastik putih di tangannya.

"Buat apa?" tanyaku heran. "Buat Kakak kamu. Tadi dia minta." Jawabnya santai. Ah Kakakku yang satu ini, kerjanya makan mulu! Malu-maluin aja sih.

"Ini ambil." Ucapnya memberikanku plastik tadi. Setelah itu Galang mengantarku pulang.

Satu bulan berlalu setelah insiden makan malam pertamaku dengan Galang. Rasanya ada sesuatu yang muncul di hatiku. Rasanya aku mulai menyukainya.

Hari-hariku bersama Galang terasa berbeda dari hari-hari sebelumnya, entah kenapa setiap kali bertemu Galang, hati ini selalu merasa bahagia.

Jalan bersamanya membuat hidupku makin berwarna. Ternyata dia orangnya asyik, lucu, enak diajak ngobrol, dan yang paling penting. Dia romantis.

Gimana enggak? Tiap hari dikasih bunga yang ada di depan gerbang sekolah. Kenapa bunga itu? Bukan karena dia pelit gara-gara nggak mau kasih aku bunga mawar kayak cerita-cerita romantis yang lainnya. Tapi aku memang suka bunga itu. Bunga yang menurutku melambangkan kesederhanaan.

Dan hampir setiap minggu dia kasih boneka kecil warna putih. Katanya, biar dia tau berapa lama dia bisa sama aku. Jadi bunga putih itu melambangkan kebersamaan kita. Rasanya pengen ngakak diperlakuin kayak gitu, tapi seneng juga sih.

Oh iya, hari ini tepat tujuh minggu aku bersama dia. Dan hari ini dia akan kasih aku boneka putih lagi. Yeay!

"Nadnad?" panggil seseorang dari belakangku, yang kutau pemilik suara tersebut adalah Galang.

"Kamu lama banget!" Gerutuku ketika melihat wajahnya.

"Maaf ya. Tadi aku cari bonekanya dulu." Jawabnya lalu duduk di sebelahku. Sekarang kami berada disalah satu taman yang ada di kompleks perumahanku.

"Ini buat kamu." Ucapnya seraya memberikan boneka berwarna putih yang ketujuh. Aku tersenyum senang seraya menerimanya.

"Tania!" teriak seseorang dengan suara beratnya dari belakangku dan Galang.

Ayah?

"Kamu ngapain sama dia?!" bentak Ayahku, Sandi Narudi. "Ayah kok bisa ada di sini?" tanyaku bingung, aku segera bangkit dari dudukku, ketika melihat Ayah yang membentakku di hadapan pacarku sendiri.

"Kamu pacaran sama dia?" Ayah bertanya balik tanpa menjawab pertanyaan dariku. Aku mengangguk yakin, pasalnya Bunda dan Kakakku menyetujui hubungan kami.

"Dia? Dia anak Perdana?" tanya Ayahku membentak.

"Iya Om, saya anak dari Yudis Perdana." Galang memperkenalkan Ayahnya pada Ayahku.

"Tania, pulang!"

Ayahku marah? Ada apa dengannya? Mau tak mau aku menuruti kata-kata Ayah.

Sesampainya kami di rumah, Ayah malah merangkulku penuh kehangatan. Ada apa dengannya? Tadi marah-marah, sekarang jadi baik begini.

"Tania, kamu boleh pacaran sama orang baik yang lain. Tapi gak sama anak musuh Ayah." Ucap Ayah.

Eh, tunggu, "Musuh?" Ayah mengangguk, "Perdana company adalah perusahaan pesaing baru yang ingin mengalahkan perusahaan Ayah dengan cara yang culas,"

"Dan Ayah harap, kamu mau memutuskan hubungan dengannya." ucapan Ayah barusan sukses membuatku menganga. "Tapi, Yah-"

"Kamu gak mau jadi anak durhaka kan?" tanya Kak Wena tiba-tiba. Aku menggeleng.

Kubuka ponselku, lalu kuketik pesan singkat yang menyakitkan untuknya.

To : Galang❣
Maaf, kita harus akhiri hubungan ini. Maafin aku.

Send.

Pura-Pura MOVE ONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang