[40] Classmate

636 38 2
                                    

"Tania." Panggil seseorang entah dari mana.

"Tania, tenang dulu, ini suaraku, Arvan."

"Arvan?" tanyaku setengah berteriak. "Tania, kamu kenapa?" tanya Ayah panik.

"Aku akan membantumu melepaskan perekat di matamu," Ucap Arvan.

"Tapi ada syaratnya."

"Apa?!"

"Berjanjilah untuk melupakanku, dan aku akan membuat matamu dapat terbuka kembali."

Aku terdiam. Kepanikanku seolah hilang begitu saja.

"Aku tak mau."

"Kumohon, Tania."

"Aku lebih memilih tak dapat melihat, daripada harus melupakanmu."

"Tania, apa kamu lebih senang aku tersiksa karena kamu tak bisa melepaskanku?" tanyanya sendu.

"Ba-baiklah. Aku akan mencoba melupakanmu." Jawabku tak kalah sendu, bahkan rasanya air mata ini ingin mengalir keluar, namun tak bisa.

"Bagus. Sampai jumpa, Tania." Ucapnya lalu suara itu menghilang tepat bersamaan ketika aku membuka kelopak mataku.

"Apa kamu baik-baik saja, Tania?" tanya Bunda khawatir. Aku mengangguk.

◾◾◾

Hari ini, adalah hari kesepuluh aku berdiam diri ke rumah, setelah kepergiannya hidup ini serasa hampa.

Tok tok tok

"Tan, ada teman kamu datang ke rumah." Ucap Bunda dari luar kamarku.

Suara pintu terbuka benar-benar menjadi khas bagi telingaku, dan saat pintu terbuka, tampaklah keenam temanku masuk secara bergiliran.

"Lo kok gak masuk sekolah terus sih?" tanya Nilla yang sepertinya kesal dengan keadaanku yang sekarang ini.

"Iya, Tan, jangan karena lo gak bisa lupain Arvan, lo malah jadi kayak gini." Sahut Zidan. Aku hanya mampu menatap nanar semua teman yang tengah duduk mengelilingiku.

Tiba-tiba Nilla berpindah, berganti posisi dengan Delila untuk duduk di sampingku. "Tan, gue tau kok kalo lo sedih, gue bisa ikut ngerasain. Gue juga tau gimana dekatnya lo sama dia semasa hidupnya walaupun kita beda kelas." Ucap Delila seraya mengusap punggungku lembut.

Del, dia itu udah mati Del! Udah mati sebelum aku kenal dan sayang sama dia!

Ingin aku berbicara seperti itu, namun yang keluar hanya sebuah senyuman sendu.

"Gue yakin, lo pasti bisa lupain dia!" seru Vika yang tiba-tiba bersemangat membuat semua mata tertuju padanya, lalu kami tertawa, walau hanya kekehan kecil yang keluar dari mulutku.

Makasih ya semuanya, ingin aku berbicara seperti itu, namun aku tak kuasa.

◾◾◾

Setelah kunjungan keenam temanku kemarin, hari ini aku memutuskan untuk berangkat sekolah bersama Zidan.

Zidan yang sudah menungguku seraya bertelepon ria dengan seseorang.

"Iya, Umi, nanti pulang sekolah, Zidan antar Umi ke rumah Eyang," ucapnya, lalu dia melirikku sekilas. "Udah dulu ya, Mi, Zidan mau berangkat sekolah. Zidan sayang Umi, Assalamualaikum."

Dia bangkit dari duduknya, "Ayo berangkat!" ajaknya. Aku langsung bergegas berpamitan dengan Ayah dan Bunda.

Di mobil, tak ada satu pun suara yang muncul di antara kami. Kami bergelut dalam kesunyian ini. Sampai pada Zidan menghentikan mobil karena lampu lalu lintas menunjukkan warna merah.

"Tan,"

Aku bergumam menjawab panggilannya.

"Lo baik-baik aja kan?" tanyanya, aku mengangguk namun dengan wajah tanpa ekspresi.

"Dan, pulang sekolah nanti lo bisa temani gue ke makam Arvan gak?" tanyaku. Dia mengangguk ragu.

"Kalo gak mau, gak apa-apa, gue bisa naik ojek online nanti." Ucapku, kali ini dengan senyuman.

Zidan menggeleng kuat, "lo gak boleh naik ojek online. Biar gue yang antar lo." Ucapnya lalu menjalankan mobil.

◾◾◾

Sesampainya di kelas, aku disambut dengan senyuman hangat dari teman satu kelasku.

"SELAMAT DATANG, TANIA." Seru teman-teman sekelasku kompak.

Aku tersenyum haru melihat sambutan teman-temanku.

Aklea datang menghampiriku, lalu merangkulku dan berjalan ke tempat duduk kami.

"Tan, lo gak boleh sedih terus. Di sini banyak kita, teman-teman lo, yang siap bantu lo buat lupain Arvan, biar dia bahagia di sana."

💦💦💦

Tbc

25 Feb '18

Pura-Pura MOVE ONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang